Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sewindu Jokowi, Menanti Proyek Mercusuar Otomotif

Proyek Esemka dan mobil listrik bakal lekat dengan Presiden Joko Widodo.
Sejumlah mobil pikap terparkir di halaman pabrik mobil Esemka di Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (22/10/2018)./ANTARA-Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah mobil pikap terparkir di halaman pabrik mobil Esemka di Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (22/10/2018)./ANTARA-Aloysius Jarot Nugroho

Bisnis.com, JAKARTA- Joko Widodo merupakan presiden era reformasi yang lekat dengan dunia otomotif, mobil Esemka yang populer berkat sosoknya, hingga proyek elektrifikasi kendaraan bermotor belakangan ini. Sewindu sudah masa pemerintahan pria yang biasa disapa Jokowi itu, lantas bagaimana nasib “proyek mercusuar” otomotif ke depan?

Otomotif merupakan anak kandung dari revolusi industri. Kehadiran produk otomotif menyusul penemuan alat transportasi modern sebelumnya, lokomotif dan kapal uap. Tidak seperti keduanya, produk otomotif yang dimiliki secara pribadi diperlakukan tidak saja sebagai penopang mobilitas, melainkan memperkuat identitas dan status sosial.

Prestise yang melekat pada tiap mobil dan sepeda motor itu seakan abadi. Saking prestisiusnya, orang pertama empunya mobil di Indonesia adalah seorang raja yakni Pakubuwono X dari Keraton Surakarta, yang mendatangkan Mercy Phaeton pada 1894.

Seiring berjalannya waktu, prestise otomotif tidak saja diburu orang per orang, melainkan antar negara. Tiap negara, lebih-lebih negara berkembang, berlomba merebut klaim sebagai produsen otomotif yang menandakan tapal batas antara negara bercorak industrialis dan agraris.

Kompetisi tersebut telah diidap negara kawasan ASEAN, sejak era awal pasca kolonialisasi. Indonesia, Malaysia, dan Thailand rebutan menjadi salah satu basis produksi otomotif.

Puncaknya, sewaktu hasrat memiliki mobil nasional menggebu. Indonesia memulai proyek mercusuar otomotif yang digagas Tommy Soeharto dengan merek Timor yang merupakan putra Presiden Soeharto yang berkuasa hingga 1998 silam.

Tidak seperti mobil nasional Timor serta cikal mobnas lainnya yang kandas, Jiran Malaysia berhasil melahirkan  produksi Proton dan Perodua. Sedangkan yang paling anyar adalah Vietnam berkat kehadiran VinFast dibidani oleh Pham Nhat Vuong seorang konglongmerat di negerinya.

Otomotif seolah memantulkan berbagai prestise seperti kemandirian dan kemajuan industri, memancarkan taraf kehidupan pribadi maupun sosial. Maka tak heran sewaktu sosok Joko Widodo saat menjabat Walikota Surakarta memperkenalkan Esemka selaku gubahan sekolah vokasi, namanya pun ikut mencuat ke seantero negeri.

Kini, nasib Esemka yang telah memiliki pabrik di Boyolali, seturut peresmiannya pada 2019 lalu oleh Presiden Jokowi, belum tampak survive di pasar domestik. Esemka jauh berbeda dengan Timor dan Bimantara, tak ada “tangan negara” di sana, hanya saja Jokowi kadung lekat sebagai duta produk lokal tersebut.

Merintis Elektrifikasi Otomotif

Pada episode pemerintahan Jokowi Jilid II, industri otomotif kembali mendapatkan sorotan. Pada 2019, presiden menerbitkan Perpres No. 55/2019 tentang Pengembangan Industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (EV/Battery Electric Vehicle).

Pada saat itu, pemerintah dikabarkan telah menggenggam komitmen investasi Hyundai asal Korea Selatan. Komitmen lainnya datang dari SGMW atau Wuling yang menyatakan siap memboyong model mobil listriknya.

Beberapa poin regulasi mobil listrik tersebut antara lain, pengembangan produk merek lokal, pemberian insentif untuk pengembangan industri otomotif berbasis elektrik, insentif fiskal dan non fiskal produk EV/BEV. Poin lainnya, pengembangan riset yang melibatkan perguruan tinggi, penyiapan infrastruktur isi daya, pembangunan industri baterai berbasis nikel, serta ketentuan terkait purna jual kendaraan bermotor listrik.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah menerbitkan berbagai aturan turunan. PP No. 73/2019 kemudian direvisi menjadi PP No. 74/2021, menggariskan perbedaan tarif PPnBM berbasis emisi karbon yang mengistimewakan BEV dibandingkan model lain seperti HEV, PHEV, FCEV, terlebih lagi ICE.

Setelah kebijakan itu rampung, terhitung satu per satu model kendaraan listrik diperkenalkan para prinsipal. Sedikitnya terdapat  18  model mobil listrik yang dipasarkan meliputi semua jenis teknologi.

Hanya saja, hingga memasuki 2022, pemasaran produk EV masih sangat minim. Keterbatasan infrastruktur isi daya dan harga produk yang masih terlampau mahal membuat EV sukar menembus pasar lebih besar, meskipun beberapa produk telah diklaim menjalani lokalisasi.

Dua produk dari prinsipal berbeda, yakni Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air ev tercatat telah mengantongi sertifikat TKDN di atas 40 persen. Untuk yang terakhir, mobil mini EV seharga di bawah Rp300 juta tersebut sejauh ini lebih berhasil mengoleksi penjualan terbanyak segmen EV.

Berbeda dengan kondisi roda empat, dari sektor roda dua semarak EV lebih ngebut. Terbukti proyek elektrifikasi itu mengundang jajaran elit ikut bermain, sebut saja kelompok TOBA yang identik dengan keluarga Luhut Pandjaitan menjalin kerja sama dengan Gojek memasarkan Electrum.

Gojek sendiri yang menempatkan nama Garibaldi Thohir selaku saudara kandung Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Komisaris juga telah memboyong produk EV roda dua asal Taiwan, Gogoro yang nyatanya merupakan afiliasi global emiten GOTO tersebut.

Indika Energy (INDY) yang dinakhodai Arsjad Rasyid selaku Ketua Kadin Indonesia pun masuk dalam jajaran pemain anyar otomotif berkat kehadiran Alva One sepeda motor listrik.

Produk-produk tersebut menambah daftar panjang pemain motor listrik, menyusul keberadaan Gesits yang kini diproduksi Wika Manufaktur serta jajaran produk BIKE serta SLIS.

Persoalannya kemudian, belum banyak produk EV yang mempunyai target TKDN memuaskan sebagaimana ditetapkan dalam Peta Jalan tertuang pada Permenperin No. 6/2021. Target TKDN dalam peta jalan mencapai minimal 40 persen untuk roda dua hingga 2023.

TKDN

Padahal, pemerintah telah mengubah formulasi penentuan TKDN yang sebelumnya menitikberatkan pada investasi komponen utama seperti baterai dan teknologi mesin, kini memperbesar porsi perakitan.

Tidak hanya itu, hal krusial dalam penilaian TKDN adalah poin memasukan penilaian tanah dan bangunan ke dalam bobot produk. Konsekuensinya, meskipun prinsipal bisa sangat mudah mendulang bobot TKDN tinggi, tetapi tidak mencerminkan aktivitas lokalisasi sebenarnya yang melibatkan transfer teknologi serta kesiapan sumber daya lokal, dan kekuatan rantai pasok dalam negeri.

Di tengah utak-atik TKDN, pemerintah sepertinya lebih berfokus memperbesar pasar EV. Bisa jadi, hal itu dilakukan agar tak ketinggalan dari Thailand sebagai rival terdekat Indonesia dalam menggaet investasi EV.

Selain menyiapkan kantong pariwisata untuk pilot project ekosistem EV, bahkan Presiden Jokowi kembali menelurkan peraturan internal berupa Inpres No.7/2022 tentang penggunaan kendaraan operasional berbasis listrik bagi seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah serta BUMN.

Seruan presiden itupun diwanti-wanti pihak Kementerian Keuangan yang bakal memprioritaskan pengadaan mobil dan motor listrik. Bahkan Menko Marves Luhut B. Pandjaitan yang diminta melakukan supervisi proyek tersebut menyatakan harapan pada 2035 tidak lagi ada produksi mobil berbasis BBM.

Di sisi lain, Presiden Jokowi dan kabinetnya seperti sudah kepalang tanggung menggulirkan proyek EV yang dilandasi semangat dekarbonisasi, padahal pemerintah pun tengah disodorkan problem pelik mahalnya investasi pensiun dini PLTU berbasis batu bara. 

Lebih jauh, jika melihat lebih dekat ancang-ancang pemberian subsidi serta privelese pengadaan EV sebenarnya pemerintah mengambil risiko makro tidak sedikit, karena memperbesar importasi otomotif. Terlebih lagi saat ini perekonomian nasional pun tengah menghadapi potensi resesi yang menyulut pemerintah untuk mengkampanyekan konsumsi domestik, serta menghemat devisa.

Berdasarkan catatan BPS,  untuk neraca dagang kendaraan bermotor dan bagiannya (HS 87) periode Januari-September, surplus terus menyusut dari sekitar US$1,6 miliar pada periode tahun lalu, menjadi US$822,36 jua. Pangkal soalnya, relasi dagang RI dengan China yang sangat timpang.

China sendiri baru dalam tiga tahun belakangan menjadi penyumbang defisit terbesar bagi produk otomotif, pada September tahun ini mencapai US$155,69 juta, melampaui Jepang dan Thailand . Kekalahan dagang itu menggerus surplus neraca dagang.

Mengacu data BPS, importasi otomotif dari China terbesar berupa komponen dan aksesoris otomotif plus skuter listrik (moped).

Karena itu, proyek elektrifikasi inipun menjadi ranah yang harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah. Sejatinya pula, selama itu menyangkut industri otomotif, tidak saja berangkat dari hasrat prestise melainkan pula kesanggupan ekosistem industri yang telah berjalan selama 50 tahun belakangan.

Sudah waktunya meninggalkan strategi pembangunan ala proyek mercusuar yang tak membumi. Rontoknya Proton yang kini dimiliki Geely dan bubar jalannya proyek Timor juga belakangan Esemka bisa jadi pelajaran penting, bahwa pada akhirnya pasar menentukan segalanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper