Bisnis.com, JAKARTA- Pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) sejauh ini mengacu Permenperin No. 6/2022. Beleid itu mengatur peta jalan sekaligus spesifikasi dan formulasi perhitungan TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri.
Secara kuantitatif, dalam Peta Jalan tersebut, pemerintah mematok target produksi BEV roda empat atau lebih mencapai 400 ribu unit pada 2025, 600 ribu unit pada 2030, dan 1 juta unit pada 2035. Saat bersamaan produksi roda dua dan tiga berteknologi listrik mencapai 6 juta unit pada 2025, 9 juta unit pada 2030, dan 12 juta unit pada 2035.
Peta jalan itupun menyertakan target TKDN yang harus dicapai dari produksi dalam negeri. Untuk produk BEV roda empat atau lebih, dipatok mencapai TKDN 40 persen pada periode 2020-2023, 60 persen selama periode 2024-2029, dan minimum 80 persen pada 2030.
Sedangkan untuk produk roda dua dan tiga, TKDN dipatok hingga 40 persen sampai dengan 2023, serta 60 persen pada periode 2024-2025, serta minimum 80 persen dimulai pada 2026 hingga 2031.
Dalam mencapai TKDN 40 persen, pemerintah menyediakan opsi impor secara CKD bagi pabrikan. Sedangkan untuk menggapai TKDN minimum 60-80 persen, opsi yang disediakan adalah impor secara IKD.
Upaya mengejar target tersebut pun telah dilakukan pemerintah. Salah satu yang menonjol adalah perubahan perhitungan TKDN.
Baca Juga
Perhitungan TKDN kendaraan bermotor sebelumnya mengacu Permenperin No.27/2020. Mengacu Permenperin No. 6/2022, proses perakitan mendapatkan porsi TKDN jauh lebih besar.
Untuk periode 2020-2023, TKDN untuk proses perakitan yang mencakup penilaian tenaga kerja dan alat kerja diberikan porsi 20 persen. Sedangkan pada periode 2024 dan seterusnya, bobot aspek perakitan mencapai 12 persen.
Sebaliknya, pada peraturan sebelumnya, TKDN terkait aspek perakitan baik roda dua dan roda empat hanya memiliki bobot 10 persen. Bobot TKDN terbesar adalah aspek manufaktur komponen utama berupa baterai dan drive train sebesar 55 persen, dan komponen pendukung sebanyak 15 persen.
Persoalannya, pada kebijakan baru tersebut, selain mengubah bobot aspek perakitan menjadi lebih besar, juga mengurangi bobot aspek manufaktur komponen pendukung dan komponen utama. Masing-masing memiliki bobot 10 dan 50 persen (pada 2024 dan seterusnya menjadi 58 persen).
Mengikuti arah perubahan ini, pemerintah seakan meringankan bobot TKDN bagi produk impor dalam bentuk terurai lengkap (CKD) dan terurai tidak lengkap (IKD). Contohnya, para agen pemegang merek (APM) yang sejatinya mengimpor dalam bentuk CKD sudah mengantongi 20 persen TKDN, ditambah dengan proposal riset dan pengembangan pasar yang mendapat porsi 20 persen, maka secara total produk impor tersebut pun menggenapi TKDN sebesar 40 persen.
Sejauh ini, tidak banyak produk roda empat yang memiliki TKDN selaras dengan peta jalan. Berdasarkan situs tkdn.kemenperin.go.id, PT SGMW Motor Indonesia telah mengantongi dua sertifikat TKDN untuk mobil listrik. Keduanya tertera untuk kendaraan berbasis listrik Wuling Air ev, yang menerangkan nilai TKDN sebesar 40,4 persen yang telah diverifikasi PT Surveyor Indonesia.
Sementara, Hyundai Ioniq 5 terdaftar atasnama perusahaan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia juga mengantongi TKDN serupa. Berdasarkan informasi sertifikat TKDN, Ioniq 5 memiliki nilai 49,0 persen yang telah diverifikasi PT Surveyor Indonesia.
Sedangkan dari sektor roda dua berbasis listrik, tercatat baru produk PT Teco Multiguna Elektro dan PT Wika Industri Manufaktur yang mempunyai produk dengan TKDN di atas 40 persen.
Teco membesut motor listrik bermerek EV Motor dengan TKDN 53,42 persen. Sedangkan Wika mempunyai Gesits dengan TKDN sebesar 46,73 persen.