Bisnis.com, JAKARTA- Pamor kendaraan elektrifikasi yang meningkat dinilai bisa menjadi bekal Indonesia mengoptimalkan nilai kontribusi ekspor dan neraca dagang hingga hilirisasi mineral yang tengah digencarkan pemerintah.
Pasalnya, hingga Semester I/2023, penjualan mobil elektrik moncer di pasar domestik maupun ekspor. Mengacu data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik Indonesia menembus 23.260 unit selama semester I/2023, atau naik 557,99 persen dibandingkan 3.535 unit pada periode sama tahun lalu.
Berdasarkan data yang sama, penjualan jenis Hybrid Electric Vehicle (HEV) mencapai 17.391 unit atau sekitar 74,76 persen dari total penjualan mobil listrik sepanjang paruh pertama 2023. Sementara, contributor penjualan selanjutnya adalah mobil listrik berbasis baterai atau Battery Electric Vehicle (BEV) dengan total 5.837 unit atau sekitar 25,09 persen dari total volume penjualan mobil listrik.
Data ini menunjukkan respon positif pasar terhadap pilihan elektrifikasi pada segmen masing-masing. Hal itu bisa menjadi dorongan kuat mendukung pertumbuhan pasar otomotif yang mengalami stagnasi 1 juta unit sedekade terakhir.
Momen transformasi teknologi inipun diharapkan mampu mendongkrak volume penjualan domestik hingga level 2 juta unit bahkan lebih pada 2030 nanti. Dengan begitu, Indonesia bisa memimpin industri elektrifikasi di regional Asean.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara mengungkapkan momen elektrifikasi industri otomotif selayaknya mampu dijadikan batu lompatan memperbesar pasar. Dia menyebutkan, dengan strategi melengkapi semua kebutuhan segmen konsumen, maka elektrifikasi pun bakal memperkuat industri otomotif nasional.
“Kami menilai dengan tren industri otomotif ramah lingkungan, NEV [New Energy Vehicle] yang tidak hanya BEV bisa menggenjot produksi, memperbesar pasar domestik maupun ekspor Indonesia,” ungkap Kukuh.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia tengah menggulirkan program pengembangan kendaraan listrik sebagai bagian hilirisasi mineral, terutama nikel. Saat ini, berdasarkan dataindonesia.id, Indonesia dan Australia merupakan pemilik cadangan nikel terbanyak di dunia sebesar 21 juta metrik ton.
Berkaca dari keunggulan itu, pemerintah merangsang berbagai kebijakan insentif fiskal dan non fiskal bagi kendaraan listrik. Hanya saja, sasaran program tersebut masih menyasar teknologi BEV yang dianggap bakal menyerap produk hilirisasi nikel.
Di sisi lain, Dosen Jurusan Teknik Tenaga Listrik UNS Muhammad Nizam menilai seiring populasi HEV yang justru lebih besar dibandingkan BEV, peluang Indonesia sebagai pemain industri besar tetap terbuka.
Menurutnya, populasi HEV yang juga sama-sama menggunakan baterai sebagaimana BEV, bisa menjadi andalan penyerapan produk hilirisasi mineral terutama nikel. Akselerasi produk otomotif dengan penggerak baterai, sangat dibutuhkan agar produksi mineral olahan Indonesia tak lantas terbang ke luar negeri.
Oleh sebab itu, Nizam menilai HEV bisa melengkapi puzzle rantai pasok baterai kendaraan listrik yang dibangun secara terpadu.
Dia mengingatkan jika pemerintah membiarkan proses hilirisasi mineral tanpa serapan pasar, maka akan terdapat “missing link” rantai pasok di industri baterai kendaraan listrik. Gambarannya, Indonesia sudah memiliki fasilitas tambang, kemudian bahan baku baterai atau nikel dijadikan material aktif, tetapi proses terancam berhenti sewaktu tidak ada serapan pasar domestik.
“Ini masalahnya jika tidak ada pasar di dalam negeri, karena itu populasi HEV yang besar bisa dijadikan pasar hilirisasi nikel, karena sama-sama membutuhkan material baterai,” jelas Nizam.