Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi mengatakan pembangunan infrastruktur pengisian daya mobil listrik (EV) bakal digenjot, tetapi setelah jumlah mobil listrik sudah banyak. Untuk itu, pemerintah mendorong berbagai insentif, termasuk untuk mobil listrik impor utuh.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenkomarves) Rachmat Kaimuddin mengaku pembangunan infrastruktur pengisian daya merupakan hal yang mudah dan cepat.
“Kita lihat bahwa pembangunan infrastruktur sesuai pengalaman kita, dulu waktu di G20 pasang-pasang charger itu tidak terlalu lama. Yang lama itu pada pabrikan sebenarnya,” ujar Rachmat pada acara di Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2024).
Rachmat menjelaskan, yang prosesnya lama adalah pengumpulan dan proses untuk meyakinkan perusahaan mobil listrik untuk berinvestasi dan membuat pabrik di Indonesia, sehingga harga EV bisa lebih murah.
Oleh karena itu, Rachmat mengatakan penyusunan skema insentif dan investasi inilah yang kini diutamakan untuk mempercepat masuknya pemain mobil listrik global ke Indonesia.
Menurutnya, tidak ada gunanya setiap tempat memiliki tempat pengisian daya mobil listrik, tetapi masyarakat yang memiliki kendaraan tersebut masih jarang karena harganya yang sangat mahal.
Baca Juga
“Seandainya seluruh rumah itu ada charger-nya, tetapi kalau semua mobilnya harganya Rp800 juta, laku tidak mobil listrik?” ujar Rachmat.
Menurutnya, harga masih menjadi salah satu pertimbangan utama masyarakat sebelum membeli mobil listrik.
Saat ini Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Investasi/BKPM, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah menyusun skema potongan bea impor dan PPnBM mobil listrik, bagi perusahaan yang berencana investasi di Indonesia.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.29/2023 dan Permen Investasi No 6/2023, perusahaan asing yang melakukan impor mobil utuh atau skema impor CBU konvensional, akan dikenakan bea masuk 50%, PPnBM sebesar 15%, dan PPN sebesar 11%. Alhasil kumulatif pajak yang harus dibayarkan adalah 76% harga barang.
Namun, jika perusahaan melakukan impor dengan skema CBU, tetapi berjanji akan melakukan investasi di Indonesia, mereka bisa gratis untuk bea masuk dan PPnBM, sehingga pajak yang harus dibayarkan hanya PPN yang sebesar 11%.
Hal yang sama juga diberikan jika skema impor menggunakan CKD atau impor bahan baku dan merakit di Indonesia.
Jika dalam kasus normal, setiap mobil EV akan dikenakan 10% bea masuk, 15% PPnBM, serta PPN sebesar 11%. Alhasil total pajak yang dikenakan mencapai 36%.
Namun, jika perusahaan EV tersebut berkomitmen untuk berinvestasi dan membuat pabrik di Indonesia dengan TKDN sesuai kriteria atau di atas kriteria sebesar 40% (hingga 2025), maka hanya dikenakan PPN 1%. Sementara perusahaan yang berinvestasi dengan TKDN di bawah 40%, maka akan dikenakan PPN 11%.
Adapun pemerintah tidak mengatur jumlah minimal investasi yang digelontorkan ataupun jumlah maksimal mobil EV yang bebas pajak. Namun, jumlah mobil EV yang bebas pajak harus berbanding lurus dari produksi yang akan dilakukan.
“Impor nggak ada maksimal, tetapi tadi kalau dia makin banyak impor, makin banyak yang mereka harus produksi, jadi makin banyak biaya impor, makin banyak dia harus memberikan jaminan, ya monggo saja, terserah dia,” ujar Rachmat.