Bisnis.com, JAKARTA- Fokus kebijakan pemerintah yang seperti memberikan banyak keistimewaan terhadap mobil listrik berbasis baterai dianggap mengancam industri otomotif, terutama terkait transisi produsen dan pekerja.
Terlebih lagi, industri otomotif eksisting yang seakan tidak agresif masuk ke jalur elektrifikasi, justru menopang perekonomian nasional. Terutama, industri otomotif yang sejauh ini masih mengandalkan produksi berbasis ICE (Internal Combustion Engine), tercatat menyumbang banyak devisa melalui ekspor maupun kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hal itu diungkapkan Kepala Riset Ekonomi Hijau dan Iklim LPEM Fakultas Ekonomi & Bisnis UI Alin Halimatussadiah. Menurutnya, seiring tren kendaraan ramah lingkungan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pengembangan mobil listrik secara menyeluruh.
Semisal saja terkait upaya mengikis emisi karbon, seperti diuraikan Alin, mobil listrik berbasis baterai pun masih mengeluarkan gas rumah kaca jauh lebih besar dibandingkan teknologi hibrida (HEV).
“Karena smelter dan pembangkit listrik pun menggunakan baterai,” jelasnya dalam 'Gaikindo International Automotive Conference (GIAC)' pada Selasa (29/7/2025).
Hal krusial lainnya yakni dampak terhadap industri otomotif eksisting seiring agresivitas mobil listrik. Terlebih lagi, agresivitas pasar mobil listrik ini disokong berbagai pembebasan fiskal dan bea masuk yang total alokasi anggaran telah mencapai Rp12 triliun.
Bagi Alin, kehadiran mobil listrik dengan harga ‘miring’ yang disokong berbagai insentif juga harus memperhatikan keberlangsungan industri otomotif eksisting. Pasalnya, hingga kini aliran devisa dari sektor otomotif terus mengalir dengan pertumbuhan ekspor mobil utuh.
“Itupun berlaku sewaktu 2023 di mana pasar domestik turun, tetapi karena ditopang ekspor yang tumbuh, sehingga kontribusi PDB juga meningkat pada tahun itu,” jelas Alin.
Faktor utama yang mendukung peran besar sektor otomotif adalah keberhasilan produksi lokal dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri alias TKDN tinggi. “Untuk LCGC saja sudah 85%, sedangkan BEV sesuai mandatory baru 60% pada 2027,” jelas Alin.
Dengan begitu, dampak ekonomi langsung seperti penyerapan tenaga kerja yang berantai dari manufaktur, pemasok komponen, hingga jaringan penjualan cukup tinggi. Total terdapat 1,5 juta orang pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor otomotif roda empat saat ini.
Sebaliknya, seiring merek mobil listrik yang merangsek pasar di tengah kelesuan ekonomi, industri otomotif saat ini ikut was-was. Apalagi jika mengingat proses industrialisasi mobil listrik ke depan harus mengatasi kesenjangan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia.
“Total dampak tidak langsung sektor otomotif saat ini sampai 4,5 juta orang, karena itu kebijakan menuju elektrifikasi inipun harus disiapkan juga transisinya seperti apa,” ungkap Alin.
Alhasil, dia mendorong agar kebijakan industri otomotif yang sejalan target NZE 2060 harus disusun secara cermat.
PERANG HARGA MOBIL LISTRIK
Di sisi lain, membanjirnya mobil listrik impor murah memunculkan gejala perang harga di pasar domestik saat ini. Dengan memanfaatkan fasilitas fiskal dan pembebasan bea masuk, pemasar mobil listrik saling banting harga.
Gejala serupa hingga kini terjadi di berbagai pasar utama, khususnya China. Saling sikut pemain mobil listrik tersebut ikut mendesak pabrikan lokal.
“Bagi konsumen secara jangka pendek, itu mungkin disambut baik. Tetapi bagi industri secara jangka panjang itu sangat merusak, karena persaingan jadi tak sehat, bakal mengancam berbagai produsen,” ungkap Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam.
Sewaktu aksi ‘predatory pricing’ terus berlangsung, akan memakan korban industri otomotif yang sayangnya selama ini jadi penopang ekspor dan lapangan kerja.
“Persoalannya ini bukan tingkat efisiensi lawan efisiensi, melainkan aksi jual rugi hingga adanya penguasa pasar tunggal. Kalau selama ini industri otomotif dalam negeri sudah menunjukkan secara kualitas dan efisiensi harga karena mampu diterima pasar global juga,” tutup Bob.