Bisnis.com, JAKARTA- Sejak sedekade lalu, pemerintah menggulirkan program LCGC sebagai pembuka jalan menuju kendaraan ramah lingkungan atau rendah emisi. Sebaliknya, hingga kini model LCGC merupakan satu-satunya produk mobil rendah emisi berbasis ICE yang menenggak murni BBM.
Setelah perdebatan alot dan berkepanjangan, pemerintah pada Juli 2013 silam menerbitkan beleid terkait industri otomotif yang menyulut dinamika pasar di kemudian hari. Beleid bertajuk resmi Permenperin No.33/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2), akrab dikenal sebagai program Low Cost Green Car atau LCGC.
Perdebatan alot itu tak lepas dari upaya produsen mobil lokal yang kala itu diwadahi Asosiasi Industri Automotif Nusantara (Asianusa). Asosiasi ini menaungi berbagai produsen lokal yang bernyali memproduksi mobil, tersisa hingga akhir adalah Fin Komodo.
Almarhum Dewa Yuniardi yang menggawangi Asianusa pernah mengaku kepada Bisnis, bahwa rangsangan kebijakan LCGC sebenarnya adalah tuntutan para produsen lokal tersebut. “Waktu itu kita meminta dan berdiskusi dengan pemerintah, kalau produsen lokal diberikan tempat tersendiri. Misal, dengan membatasi pasar untuk mobil di bawah 1.000cc, ternyata pemerintah malah mengeluarkan kebijakan LCGC,” kenang Dewa kala itu.
Di sisi lain, Kemenperin bersama asosiasi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang membidani kelahiran kebijakan itu, mengawinkan konsep mobil murah dengan cc rendah dan batasan emisi karbon.
Untuk yang terakhir, program LCGC dipagari dengan batasan konsumsi bahan bakar dan jarak tempuh. Praktisnya, mobil-mobil LCGC selain memenuhi standar cc, juga harus memenuhi batasan konsumsi per liter BBM bisa menempuh jarak 20 kilometer.
Baca Juga
Pada awal kelahirannya, mobil-mobil LCGC pun memiliki plafon harga atas yang dietapkan pemerintah sekitar Rp95 juta per unit, di luar Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Selain itu, para Agen Pemegang Merek (APM) pun bisa menambahkan harga seiring penyematan berbagai fitur.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42/2013 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Kendaraan Bermotor, LCGC mendapatkan tarif khusus 0% dari harga jual alias gratis. Menteri Perindustrian M.S Hidayat kala itu mengungkapkan program LCGC ini merupakan turunan dari proyek Low Emission Carbon (LEC).
PAJAK LCGC KINI
Tercatat, hingga September 2023, total penjualan mobil LCGC telah mencapai 1,9 juta unit. Hingga akhir tahun, jumlah itu bisa menembus kisaran 2 juta unit.
LCGC kini dipayungi Permenperin 36/2021 tentang Kendaraan Bermotor Roda Empat Emisi Karbon Rendah (LCEV). LCGC menjadi bagian dari rangkaian program rendah emisi pemerintah, mengkombinasikan berbagai teknologi mulai dari ICE, hybrid, BEV, PHEV, hingga FCEV.
Dalam beleid tersebut tertuang Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau LCGC merupakan kendaraan dengan besaran harga jual paling tinggi Rp135 juta.
Merujuk PP 73/2019 (Rev. PP 74/2021), perhitungan PPnBM untuk mobil KBH2 atau LCGC yang memiliki kapasitas sampai 1.200 cc dikenakan tarif 15% dengan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 20%. Jika tarif tersebut dikalikan dengan DPP, maka PPnBM LCGC dipatok sebesar 3%.
Sementara dalam PP 74/2021 mobil full hybrid 3.000 cc dengan motor bakar cetus api dengan konsumsi BBM 23 kilometer per liter atau tingkat emisi CO2 kurang dari 100 gram per kilometer dikenakan tarif 15% dengan DPP sebesar 40%. Alhasil PPnBM untuk hybrid dengan motor bakar cetus tersebut sebanyak 6%.
Kemudian untuk mobil full hybrid 3.000 cc dengan motor bakar cetus api dengan konsumsi BBM lebih dari 18,4 kilometer sampai 23 kilometer per liter atau tingkat emisi CO2 mulai dari 100-125 gram per kilometer dikenakan tarif 15% dengan DPP 46 ⅔%. Hal ini berarti PPnBM yang dikenakan sebesar 7%.
Berikutnya untuk plug-in hybrid electric vehicles (PHEV) dikenakan tarif 15% dengan DPP 33 1/3% yang membuat PPnBM untuk jenis kendaraan ini sebesar 5%.
Di sisi lain kendaraan battery electric vehicle (BEV) dan fuel cell electric vehicle (FCEV) dikenakan tarif 15% dengan DPP sebesar 0% sehingga PPnBM yang dikenakan pun menjadi 0%.
Di tengah kompetisi teknologi rendah emisi itu, ternyata LCGC masih bisa menikmati tempat istimewa, rerata tarif pajak masih lebih rendah dibandingkan teknologi terdekatnya HEV.
Di sisi lain, para pelaku industri otomotif berharap Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang dipatok 3% untuk LCGC tidak mengalami perubahan meski angka tersebut lebih rendah dari yang ditetapkan untuk mobil hybrid 6%.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto mengatakan LCGC harus memiliki harga yang terjangkau lantaran mobil jenis ini ramah lingkungan, rendah polusi, dan hemat bahan bakar minyak (BBM).
“Namanya juga Low Cost and Green Car. Jadi harganya harus terjangkau, ramah lingkungan, rendah polusi dan hemat BBM,” ujar Jongkie kepada Bisnis, Kamis (26/10/2023).
Sales Marketing and After Sales Director Honda Prospect Motor Yusak Billy mengatakan penetapan PPnBM sebesar 3% untuk mobil LCGC telah melalui kajian mendalam oleh pemerintah terkait dan juga para pemain industri otomotif.
Dia juga mengatakan segmen LCGC sangat sensitif terhadap adanya perubahan harga sehingga terdapat potensi penurunan daya beli apabila harga dipatok naik terlalu tinggi.
“Perlu pengkajian lebih lanjut bila ingin mengetahui lebih dalam lagi,” ujar Billy kepada Bisnis, Kamis (26/10/2023).
Di sisi lain, hingga kini segmen LCGC masih merupakan pasar paling gemuk. Total penjualan LCGC mencapai 148.445 unit sepanjang Januari-September 2023, tumbuh 17% dibandingkan 127.013 unit pada periode sama tahun lalu.
Lebih jauh, dengan raihan pasar itu, LCGC mempunyai pangsa 19,9% dari total volume penjualan domestik yang sebanyak 746.239 unit selama tiga kuartal tahun ini.
Hingga kini, keberadaan LCGC yang berbasis Internal Combution Engine (ICE), memiliki aturan emisi karbon yang cukup longgar, karena hanya mengacu tingkat konsumsi bahan bakar. Terlebih, ketentuan LCGC harus menenggak minimal BBM RON 92, yang semakin sulit diawasi di lapangan.
Terkait hal ini, Marketing Director dan Corporate Planning and Communication Director PT Astra Daihatsu Motor Sri Agung Handayani mengungkapkan pihak prinsipal menyerahkan seluruh program industri dan kebijakannya kepada pemerintah.
“Kami yakin pasti pemerintah akan memikirkan yg terbaik utk perkembangan industri automotif di Indonesia, karena market-nya sangat besar,” ungkapnya.