Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri otomotif optimistis terhadap iklim investasi sektor otomotif di Tanah Air meski dihadapkan oleh penjualan kendaraan yang lebih lesu pada tahun ini.
Sekadar info, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil secara kumulatif Januari sampai April 2025 mencapai 256.368 unit, terbagi kendaraan penumpang 202.724 unit dan kendaraan komersial 53.644 unit.
Alhasil, penjualan tercatat turun 2,8% secara tahunan (yoy) dari periode Januari-April tahun lalu, di mana penjualan masih mencapai 264.014 unit, terbagi kendaraan penumpang 207.500 unit dan kendaraan komersial 56.514 unit.
Pada saat yang sama, iklim investasi terkait sektor otomotif di Tanah Air pun tengah diramaikan sentimen negatif, mulai dari maju-mundur realisasi investasi beberapa perusahaan ekosistem baterai kendaraan listrik (EV), gonjang-ganjing pelonggaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga isu-isu miring soal kondusivitas berusaha dalam negeri.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menekankan lesunya pasar domestik tak lantas berpengaruh langsung terhadap minat investor.
"Pasar Indonesia di Asean masih nomor satu. Ini menjanjikan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Kemudian, investasi di sektor otomotif harus dilihatnya secara jangka panjang.
Baca Juga
Buktinya, masih banyak pemain datang ke sini, kan?" ungkapnya ketika dihubungi Bisnis baru-baru ini, dikutip Sabtu (17/5/2025).
Yang terbaru, pemerintah tengah mempercepat pembahasan investasi CATL asal China untuk menyediakan baterai kendaraan listrik melalui anak perusahaannya CBL International Development yang telah membentuk joint venture (JV) dengan IBC.
Selain itu, produsen kendaraan listrik asal Vietnam Vinfast juga telah menyepakati pembangunan pabrik di Subang dengan nilai investasi hingga Rp4 triliun.
Di tengah masih solidnya daya tarik Indonesia sebagai basis produksi ekosistem kendaraan listrik, Kukuh mengakui bahwa penjualan kendaraan domestik punya kaitan erat dengan rapor kinerja perekonomian nasional, sehingga upaya pemerintah memperbaiki fundamental pertumbuhan ekonomi merupakan kunci untuk menjaga daya tarik tersebut.
Sebagai contoh, Kukuh menyinggung saat ini hampir 10 juta warga yang sebelumnya kelas menengah telah turun kelas karena terjepit ketidakpastian kondisi perekonomian.
Terlebih, kenaikan harga mobil yang mencapai 7,5% per tahun tak bisa dikejar oleh pertumbuhan pendapatan mereka yang hanya sekitar 3% saja per tahun.
"Jadi bagaimana mengatasi dampak negatif akibat kondisi makroekonomi harusnya bisa ditekan, supaya industri otomotif bangkit. Apalagi kelas menengah itu adalah pembeli potensial kendaraan bermotor. Jangan sampai jumlahnya turun terus," tambahnya.
Selain upaya menjaga stabilitas kondisi perekonomian, Kukuh mengharapkan konsistensi sikap pemerintah dalam mendukung perkembangan industri kendaraan bermotor dan komponen otomotif menuju teknologi terbaru yang lebih ramah lingkungan.
Mulai dari dukungan listrik baterai (BEV), hibrida (HEV) dan plug-in hibrida (PHEV), juga sikap yang jelas terhadap bahan bakar berbasis etanol dan biodiesel. Intinya, jangan sampai Indonesia mandek hanya jadi basis produksi mobil berteknologi lama.
"Dukungan buat EV dan hibrida harus konsisten demi menjaga minat investor. Selain itu, mobil ICE [mesin bakar konvensional] juga sebenarnya bisa menuju lebih ramah lingkungan lewat etanol dan biodiesel. Ini harus didukung. Apalagi, buat negara, ini bisa sekaligus mengurangi impor solar dan bensin," ungkapnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menekankan sektor otomotif RI masih seksi buat investor, asalkan pemerintah bisa menjaga kondusivitas dan memperbaiki keterkaitan dalam rantai pasok global.
"Upaya menarik investasi yang terkait dengan rantai pasok global harus kuat, sehingga geliat produksi dengan rantai pasok domestik ikut berkembang. Industri kendaraan bermotor di Indonesia sebenarnya sudah melakukan ini dengan baik, dibandingkan sektor lain," ungkapnya ketika ditemui Bisnis baru-baru ini.
Yose pun sepakat bahwa Indonesia perlu memanfaatkan momentum tren transisi menuju ekonomi hijau, termasuk pada ekosistem otomotif. Sebab, investasi di sektor ini bisa mengalir deras apabila pemerintah konsisten menciptakan kebijakan yang mendukung keberlanjutan.