Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut emisi karbon yang dihasilkan oleh mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) lebih tinggi ketimbang kendaraan hybrid maupun internal combution engine atau ICE.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang mengatakan emisi atau keluaran dari karbon yang dihasilkan oleh BEV lebih tinggi karena sumber energinya masih berasal dari fosil.
Saat mulai memproduksi mobil listrik dibutuhkan sumber karbon yang lebih banyak lantaran mobil listrik menggunakan baterai. Sejauh ini, penggunaan sumber listrik dihitung sebagai fosil lantaran berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Selain itu, sumber listrik yang digunakan untuk mengisi daya mobil listrik juga berasal dari listrik yang dihasilkan oleh PLTU. Hal ini yang membuat emisi karbon dari BEV disebut lebih tinggi ketimbang hybrid maupun ICE.
“At the end of the day datanya mengatakan bahwa per unit karbon yang dihasilkan oleh EV itu lebih tinggi daripada hybrid [dan] lebih tinggi dari pada ICE karena sumber energinya masih dari fosil,” ujar Agus di JW Marriot, Rabu (11/10/2023).
Di sisi lain, pemerintah memiliki target kuantitatif mengenai populasi kendaraan listrik berbasis baterai melalui Permenperin 6/2022. Dalam beleid tersebut tertera bahwa target produksi KBL Berbasis Baterai Roda Empat dan lebih mencapai 400.000 unit pada 2025. Kemudian jumlah tersebut bertambah menjadi 600.000 unit pada 2030, dan 1 juta (1.000.000) unit pada 2035.
Baca Juga
Pemerintah juga memberikan insentif untuk mobil listrik melalui PMK 38/2023 dengan potongan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 10 persen. Alhasil PPN yang dibebankan untuk mobil listrik hanya mencapai 1 persen dari yang seharusnya 11 persen.
Dua pabrikan yang sudah memenuhi syarat ini adalah PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia melalui produk Ioniq 5, dan juga PT SGMW Motor Indonesia melalui produk Wuling Air ev.
Di sisi lain, pemerintah juga berencana melonggarkan syarat minimal TKDN 40 persen yang seharusnya dicapai pada 2024 kemudian mundur menjadi 2026. Persyaratan minimal TKDN 40 persen pada 2024 pun sejatinya sudah diatur melalui Perpres 55/2019.
Beleid tersebut juga mengatur bahwa minimal TKDN sebesar 80 persen harus tercapai pada 2030.