Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mobil Listrik, Perang Ekonomi China Vs AS Menjerat Indonesia

Nasib nikel dan pengembangan mobil listrik Indonesia tergantung bandul ketegangan antara China dan Amerika Serikat (AS).
Suasana tambang nikel Trimegah Bangun Persada (NCKL) milik Harita Group./Istimewa
Suasana tambang nikel Trimegah Bangun Persada (NCKL) milik Harita Group./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA- Persaingan antara Amerika Serikat dan China dalam industri otomotif pada era elektrifikasi diyakini menggoncang proyek besar pengembangan kendaraan listrik ke depan, termasuk terhadap Indonesia.

Bagi Indonesia, terbitnya paket insentif inflation reduction act (IRA) yang digulirkan Pemerintahan Joe Biden, membuat gentar langkah pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Mitra utama pengembangan, khususnya yang berasal dari Korea Selatan seperti LG dan Hyundai pun ikut ragu membenamkan investasi.

Padahal, sejak semula, para investor itu termasuk pabrikan baterai dan mobil listrik asal China optimistis terhadap paket kebijakan hulu hilir kendaraan listrik di Indonesia. Bahkan, pemerintah pun telah menginisasi dua proyek besar pembangunan ekosistem industri baterai bertajuk Proyek Dragon (bersama CATL dkk.) dan Proyek Titan (bersama LG dan Hyundai) yang dikawinkan dengan anak usaha BUMN yakni IBC.

Bermodal cadangan nikel tebal, Pemerintah Indonesia semakin percaya diri menggaet investasi jumbo untuk ekosistem kendaraan listrik. Namun pada kenyataannya, sewaktu IRA digulirkan, optimisme itupun mulai kendur.

Nasib nikel dan ekosistem kendaraan listrik kini tergantung bandul ketegangan antara China sebagai mitra utama hulu nikel Indonesia dengan Amerika Serikat sebagai salah satu pasar terbesar kendaraan listrik.

Hal inipun sejalan dengan laporan Bloomberg, dikutip pada Rabu (19/7/2023), yang mengulas pertarungan China dan Amerika Serikat (AS) dalam rantai pasok sekaligus ekosistem kendaraan listrik.

Sejatinya, para pabrikan otomotif AS sepakat bahwa penguasaan China atas ekosistem dan rantai pasok kendaraan listrik (electric vehicle/EV) harus dikikis. Pasalnya, China merupakan produsen terbesar baterai kendaraan, termasuk menguasai mayoritas pasokan material dari negara-negara mitranya.

Kenyataan itupun yang menjadi rintangan implementasi kebijakan perubahan iklim termasuk IRA di dalamnya. Pada Maret lalu, Pemerintah AS merilis panduan parsial tentang persyaratan rantai pasokan yang memungkinkan beberapa kendaraan memenuhi syarat untuk kredit pajak US$ 7.500, tetapi dengan syarat tanpa ada pasokan dari China maupun negara yang masuk daftar sorotan (foreign entities of concern/FEOC).

Persoalannya, selain China dan Rusia, Pemerintahan Biden harus menentukan negara mana saja yang dilarang sebagai bagian rantai pasok EV di AS. Padahal, berdasarkan aturan itu, pada tahun depan EV yang memuat material dari China plus Rusia serta FEOC selayaknya tidak dapat menerima insentif pajak IRA.

Sebaliknya, para produsen mobil AS membutuhkan lebih banyak kelonggaran, karena menganggap saat ini mustahil memproduksi baterai EV tanpa input dari perusahaan China. Pada kutub seberang, produsen material dan komponen lokal menuntut agar terdapat proteksi terhadap produk China agar produksi domestik ke depan bisa lebih siap.

Kebijakan dan ketegangan AS dan China ini pun akan mempengaruhi rantai pasok material penting seperti nikel dari Indonesia, tembaga dari Chili, dan litium dari Australia yang merupakan mitra utama China. Produksi mineral Indonesia dan negara-negara tersebut telah jatuh di tangan investor China.

Memasuki Agustus, genap kebijakan IRA setahun pascaterbit. Namun, Departemen Keuangan AS belum memberikan detail panduan terkait implementasi IRA.

“Jika Anda berada di AS, masih banyak hal yang tidak diketahui,” kata Doug Johnson-Poensgen, Kepala Kksekutif perusahaan verifikasi rantai pasokan, Circulor kepada Bloomberg.

Di sisi lain, pabrikan otomotif seperti Stellantis NV, pemilik merek Jeep dan Ram, serta pembuat baterai LG Chem Ltd., telah mendesak Departemen Keuangan untuk menambahkan negara-negara seperti Indonesia ke dalam kerangka IRA dengan melakukan kesepakatan perdagangan bebas pada mineral kritis.

Indonesia menyumbang sekitar setengah dari produksi nikel dunia, dengan Filipina, Rusia, Kaledonia Baru, dan Australia melengkapi lima produsen teratas.

Di sisi seberang, AS memiliki kepentingan melindungi pengembangan industri mineral dan komponen lokal. Untuk itu, Pemerintahan Biden beranggapan selama ada aliran masuk dari China, tujuan tersebut tak perna tergapai. Bagaimana dengan Indonesia?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper