Bisnis.com, JAKARTA – Harga mobil listrik murni berbasis listrik (Battery Electric Vehicle/BEV) di Indonesia masih cukup mahal meski ada insentif yang diklaim telah mencapai 42 persen dari harga jual. Paling tidak, harga jajaran BEV yang beredar tersebut masih lebih mahal dibandingkan pasar Thailand.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti dua persoalan, yakni rantai pasok dan biaya logistik. Dia mengatakan dua faktor itu yang masih menjadi penghambat mobil listrik Indonesia masih belum bisa terjangkau meski telah diguyur beberapa insentif.
Terlebih, kata Bhima, saat ini pabrikan Jepang sebagai pemain utama pada industri kendaraan bermotor di Indonesia masih belum ada yang memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai.
“Jadi kalau banyak produsen harga akan turun, nah sementara produsen seperti pabrikan jepang belum tertarik masuk ke komponen kendaraan listrik. Masalahnya itu, dan juga hilirisasi nikel masih minim diserap oleh pelaku dalam negeri dalam produksi baterai, jadi ada rantai pasok yang terfragmentasi, sehingga kalau Indonesia hanya menjadi basis pasar untuk menjual pasti harganya mahal,” kata Bhima kepada Bisnis, Senin (19/6/2023).
Faktor lainnya, mobil listrik di Indonesia masih belum terjangkau karena disebabkan oleh ongkos logistik yang mahal. Sebab, menurut Bhima, biaya logistik di Indonesia masih berada pada level 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Biaya logistik kita masih 23,5 persen dari produk domestik bruto itu yang membuat kita tidak kompetitif sebagai basis produksi, jadi walaupun harus dikirim dari luar mobilnya dirakit di Indonesia harganya akan mahal,” tambahnya.
Baca Juga
Lebih jauh, untuk solusi masalah tersebut maka pemerintah harus berupaya untuk mengajak pelaku industri, khususnya Jepang sebagai pemegang pangsa terbanyak di Indonesia. Sehingga, dengan banyaknya pelaku industri yang terjun dalam produksi kendaraan listrik BEV model, maka bakal membuat harga semakin kompetitif.
Senada dengan Bhima, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Riyanto mengatakan ongkos produksi di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara lainnya. Sementara, jika produknya impor maka persoalannya ada pada biaya logistik.
“Kalau pajak-pajak sudah dihapus, tapi masih mahal, ya berarti harga off the road di Indonesia lebih mahal. Mengapa? Kalau dibuat di Indonesia harga off the road indonesia lebih mahal, maka ongkos produksinya yang mahal di Indonesia. Tetapi kalau diproduksi di luar negeri, misal Thailand, kemudian harga off the roadnya lebih mahal setelah sampai di Indonesia, ini bisa disebabkan karena biaya mendatangkan produk tersebut ke indonesia seperti biaya angkutnya dan bea masuk yang lebih tinggi,” ujar Riyanto.
Sementara itu, Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiarto enggan berkomentar mengenai harga produk di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan Thailand. Sebab, dia kurang mendalami struktur perpajakan yang ada di Negeri Gajah Putih.
“Saya tidak bisa komentar, karena tidak tahu struktur perpajakan dan harga di Thailand,” tuturnya.