Bisnis.com, JAKARTA- Neraca dagang otomotif selama Januari hingga Oktober tahun ini mengalami defisit seiring melonjaknya importasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menhimpun perdagangan kendaraan bermotor dan bagiannya (HS 87), tercatat total nilai ekspor hingga Oktober tahun ini mencapai US$9,08 miliar. Kinerja itu mengalami pertumbuhan 21,87 persen dibandingkan US$7,09 miliar pada periode sama tahun lalu.
Sebaliknya, saat bersamaan, kinerja impor melesat hingga US$9,43 miliar sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini. Realisasi itu melambung 43,6 persen dibandingkan US$5,31 miliar pada periode sama tahun lalu.
Alhasil, neraca dagang otomotif mengalami defisit sebesar US$349,2 juta. Catatan defisit inipun menjadi yang pertama sejak 2013, saat Indonesia mengantongi neraca dagang otomotif minus US$862,4 juta.
Pasca 2013, tercatat sektor otomotif malah diandalkan sebagai penyumbang surplus neraca dagang. Dalam catatan Bisnis, surplus tertinggi dari sektor otomotif terjadi pada 2016 yang mencapai US$2,3 miliar.
Jebolnya neraca dagang otomotif ini terlihat dari lonjakan komoditas impor berupa skuter dan moped. Lonjakan impor tersebut seiring bergulirnya program elektrifikasi kendaraan bermotor, terutama pada sektor roda dua.
Baca Juga
Sebaliknya, Indonesia selama ini telah mengalami swasembada sepeda motor. Rata-rata produksi per tahun sepeda motor berbagai jenis mencapai sekitar 7 juta unit, dengan besaran pasar 6-7 juta unit.
Selain impor skuter, kontributor paling besar juga berasal dari importasi komponen kendaraan roda empat seperti gear box, serta komponen untuk kendaraan pengangkut barang.
Pada periode Oktober 2022 saja, Indonesia mengalami defisit perdagangan otomotif dari Jepang sebesar US$215,86 juta, China sebesar US$166,38 juta, India sekitar US$79,6 juta, dan Thailand senilai US$50,4 juta.
Di sisi lain, Indonesia mengemas surplus perdagangan otomotif periode Oktober 2022 dengan beberapa negara. Surplus terbesar didapatkan dari Filipina sebesar US$271,1 juta, Vietnam senilai US$157,5 juta, Saudi Arabia sebanyak US$60,8 juta, dan Malaysia sekitar US$40,01 juta.