Bisnis.com, JAKARTA - “Kami masih buka kok, mba. Untuk servis atau pembelian. Sampai setengah tahun ke depan, ya… sampai April atau Juni lah, kalau mbak mau beli [unit Ford] masih bisa.” Begitu ujar seorang pegawai di salah satu dealer Ford Motor Indonesia di Jakarta Pusat kepada Bisnis, Rabu (3/2/2016).
Dia menyebutkan meskipun Ford Motor Indonesia sudah resmi menyatakan berhenti beroperasi, konsumen masih bisa melakukan pembelian stok eksisting. “Mbak bisa memilih di antara stok yang masih ada. Kami buka mulai pukul 08.30 – 17.00 WIB. Kami juga menjamin layanan purnajual sampai setahun ke depan,” lanjutnya.
Perkataan pegawai yang tidak dapat disebutkan namanya itu seolah menjawab keingintahuan sebagian konsumen pabrikan asal Amerika Serikat itu. Bagaimana pun, kekhawatiran yang dirasakan oleh para pengguna setia Ford tidak dapat ditekan menyusul pengumuman resmi penghentian bisnis Ford di Tanah Air.
“Cemas sih waktu dengar Ford keluar dari Indonesia. Bagaimana nanti dengan spare part dan service? Sayang sekali kalau tidak ada lagi dealer resmi,” ujar Vega Aprilia (26), seorang pemilik mobil Ford.
Wajar Vega merasa waswas sebab menurut dia layanan purnajual selama ini bagus dan cukup mudah. Hal itu membuat konsumen merasa aman dan nyaman setelah melakukan pembelian mobil.
Kecemasan Vega mewakili banyak pengguna Ford yang sudah terlanjur nyaman dengan tunggangan mereka. Dengan berhentinya bisnis, rasa aman dan nyaman yang selama ini dirasakan konsumen menjadi terganggung. “Semoga akan tetap seperti itu [layanan purnajual bagus dan mudah],” tambahnya.
Direktur Hubungan Publik PT Ford Motor Indonesia (FMI) Lea Kartika menegaskan komitmennya untuk memastikan pelanggan tetap memiliki akses terhadap servis, suku cadang, dan garansi kendaraan.
Pelanggan, ujarnya, dapat terus mengunjungi dealership resmi Ford untuk seluruh dukungan penjualan, servis, dan garansi, hingga dikatakan lain.
Saat ini, lanjutnya, FMI tengah menyusun finalisasi rencana untuk menyediakan kesinambungan dukungan servis dan garansi. “[Ford] Akan menginformasikan kepada pelanggan tentang pengaturan yang baru, sebelum transisi terjadi,” tulisnya dalam surat elektronik kepada Bisnis, Rabu (3/2/2016).
Keputusan Ford Company yang asal AS ini untuk menutup bisnisnya di Indonesia memang mengejutkan. Berita inipun tersiar hanya beberapa waktu setelah perusahaan minyak dan gas asal Negeri Paman Sam memutuskan kontrak produksi di Kalimantan Timur.
Akhir bulan lalu, pabrikan berusia 113 tahun itu secara resmi mengumumkan penghentian operasi di Indonesia, termasuk dealership per semester II/2016.
Keputusan itu sekaligus menjadi tanda berakhirnya penjualan dan impor resmi kendaraan Ford yang telah hadir di Indonesia sejak 27 tahun lalu. Ford pertama kali hadir di Indonesia melalui Indonesia Republic Motor Company (IRMC) pada 1989. Sebelas tahun kemudian, yakni pada 2000, perusahaan meresmikan PT Ford Motor Indonesia.
Seperti diketahui, Ford memutuskan hengkang dari Indonesia menyusul kinerja penjualan yang tidak memuaskan. Hengkangnya Ford menjadi salah satu potret kerasnya persaingan industri otomotif di Tanah Air.
Lea menuturkan Ford berkomitmen untuk melayani pasar global sekaligus merestrukturisasi secara agresif bagian-bagian bisnis yang tidak tumbuh dan mendatangkan keuntungan yang berkesinambungan.
“Setelah mempelajari secara seksama setiap opsi yang memungkinkan, jelas bagi kami bahwa tidak ada jalur menuju keuntungan yang bersinambungan bagi kami di Indonesia. Oleh karena itu, kami akan menghentikan seluruh operasi di Indonesia sebelum akhir tahun 2016 dan mengkonsentrasikan sumber daya yang ada di tempat lain,” terangnya.
Menurutnya, sejauh ini Ford tidak berencana untuk mengalihkan operasi di Indonesia ke bentuk distributorship.
Surga Investasi?
Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), menilai hengkangnya Ford adalah murni keputusan bisnis.
Menurutnya, dari sisi investasi kepergian Ford tidak terlalu berdampak karena Ford tidak melakukan investasi di Indonesia. FMI hanya mengimpor mobil utuh dari Thailand dan Filipina dengan memanfaatkan fasilitas free trade agreement, di mana hanya dikenakan bea masuk 0%.
Dia berpendapat fasilitas free trade agreement membuat Indonesia hanya dilirik dari sisi potensi pasar mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Padahal, pemerintah ingin supaya Indonesia menjadi tujuan investasi karena memiliki potensi pasar yang besar.
Untuk itu, ujarnya, alih-alih meratapi kepergian Ford, pemerintah harus serius memikirkan insentif investasi yang dapat diberikan bagi industri otomotif di Tanah Air. Dia mencontohkan insentif yang dapat diberikan adalah tax holiday untuk industri komponen yang baru masuk. Beberapa negara Asean juga sudah memberikan insentif itu.
“Vietnam tawarkan investasi dengan insentif ini dan itu. Sementara itu, Indonesia undang investor tetapi tidak beri insentif. [Pemerintah RI] Harus melihat juga apa yang diberikan negara tetangga,” tambahnya.
Jongkie melanjutkan selain insentif, pemerintah juga dapat mendorong pengembangan pasar dengan cara memperbaiki aturan-aturan yang sudah tidak relevan.
Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM. Salah satu klausul beleid mengatur pajak terendah sebesar 30% untuk kendaraan penumpang berkapasitas kurang 10 orang dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke bawah.
Dia mencontohkan segmen multi purpose vehicle (MPV) dan sport utility vehicle (SUV) yang mendapat PpnBM 10% berhasil menjadi salah satu primadona di Tanah Air. Hal itu mendorong lahirnya pabrik yang memproduksi mobil segmen MPV dan SUV karena pasar bertumbuh dengan baik.
“Sedan diharapkan begitu juga. Berkaca dari PPnBM 10% sudah ada rekam jejaknya, dan saya yakin orang akan tertarik berinvestasi di Indonesia,” imbuhnya.
Peristiwa hengkangnya Ford, yang disusul dengan penutupan pabrik dua produsen elektronik Panasonic dan Toshiba dari Tanah Air dinilai menjadi peringatan bagi pemerintah tentang kondisi investasi di Indonesia.
Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai kepergian Ford yang kemudian disusul oleh hengkangnya perusahaan berbasis manufaktur seperti Panasonic dan Toshiba adalah gambaran rapuhnya kepastian investasi di Tanah Air.
Pada saat pemerintah gencar mengundang investasi asing, ujarnya, beberapa perusahaan asing yang sudah berinvestasi malah memutuskan pergi dari bumi Nusantara.
“Ford saya yakin karena pertimbangan bisnis, karena penurunan daya beli dan orang lebih memilih low cost green car [LCGC]. Panasonic dan Toshiba juga hengkang pasti [karena] ada pertimbangan dan kalkulasi yang matang,” paparnya.
Dia menuturkan beberapa pertimbangan bisnis yang mungkin adalah efisiensi guna menyiasati perlambatan ekonomi dan penurunan daya beli. Keterlambatan realisasi pembangunan infrastruktur juga menjadi pertimbangan lain mengapa investor asing minggat dari Indonesia.
Enny mensinyalir kepergian beberapa perusahaan Amerika dan Jepang dari Indonesia akan menimbulkan tanda tanya bagi investor lain. Pada saat bersamaan MEA memberikan peluang yakni berinvestasi di negara lain seperti Malaysia atau Thailand, sementara itu Indonesia hanya menjadi pasar berkat insentif bea masuk.
Menurutnya, kepergian Ford dan beberapa perusahaan manufaktur tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemerintah harus segera berbenah untuk memperbaiki daya saing Indonesia. Selain itu, pemerintah harusnya tidak hanya memberi menelurkan paket-paket kebijakan untuk investasi baru, tetapi juga menjaga investasi yang sudah ada.
“Investor akan berpikir ada apa dengan Indonesia. Ini akan berat untuk investasi baru masuk. Pemerintah harus juga menepuk bahu investor yang sudah investasi di Indonesia. Dengan adanya MEA, modal pasar yang besar tidak cukup karena investor akan memilih investasi di negara lain dan Indonesia hanya sebagai pasar,” jelasnya.