Bisnis.com, JAKARTA- Impor truk utuh asal China deras mengalir, di tengah merosotnya pasar domestik. Nilai impor sepanjang tahun lalu itupun tembus hingga US$647 juta.
Pada tahun lalu, penjualan truk semua segmen sebagaimana dicatat Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mengalami penurunan tajam. Volume penjualan mencapai 66.570 unit, turun 14,1% dibandingkan 77.581 unit pada 2023.
Sebaliknya, di tengah penjualan domestik ambrol, justru impor truk asal China mengalir deras. Impor inipun tidak dicatat Gaikindo, serta jumlahnya cukup signifikan.
Pada tahun lalu, misalnya, volume impor truk utuh dari Tiongkok mencapai 13.669 unit. Data itu tercatat oleh General Administration of Customs of The People’s Republic of China (GACC).
Nilai importasi tak tanggung-tanggung, mencapai sekitar US$647 juta. Hal ini terbilang janggal, sebab keseluruhan impor utuh tersebut tidak dilakukan oleh para pemain di dalam negeri, atau selayaknya anggota Gaikindo.
Saat bersamaan, Gaikindo hanya mencatat total volume impor truk utuh sebanyak 1.868 unit pada 2024. Satu-satunya merek asal China yakni FAW, dengan volume impor sebanyak 933 unit.
Dari data yang sama, impor truk utuh dari China didominasi jenis truk diesel dengan bobot lebih dari 20 ton. Pada 2024 saja, impor truk tersebut mencapai volume 15.542 unit.
Mengingat penggunaan truk dengan bobot sebesar itu, biasanya dioperasikan untuk mengangkut material berat ataupun barang tambang.
Bagi pabrikan di Indonesia, kenyataan arus deras impor itu selayaknya mengganggu. Pasalnya sewaktu pasar domestik melorot, volume impor truk utuh asal China malah melonjak.
Berbanding impor truk China pada 2023 yang sebanyak 7.729 unit dengan nilai US$346 juta, maka tahun lalu terjadi pertumbuhan signifikan hingga 76%.
Baca Juga : Perang Israel-Iran Picu Banjir Impor Truk China |
---|
Secara rinci, impor asal China meliputi truk diesel dengan bobot mulai dari 5 ton hingga lebih dari 20 ton. Kesemuanya terhimpun dalam kode Harmonized System alias HS China dengan nomor 87042.
Lebih lanjut, impor truk utuh ini kian deras memasuki periode 2025. Sepanjang Januari-Juni tahun ini, volume ekspor itu telah mencapai 7.794 unit, dengan nilai US$350 juta.
Saat bersamaan pasar domestik hanya sekitar 27.980 unit. Singkatnya, volume truk impor menyentuh sepertiga penjualan truk di dalam negeri.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara membenarkan produk truk China yang merangsek pasar dalam negeri. “Pasar truk domestik semakin digerogoti, terlebih dengan pasar yang stagnan saat ini,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025).
Kukuh mengatakan penetrasi pasar truk impor asal Tiongkok banyak tersebar di wilayah pertambangan. Sebabnya, di wilayah-wilayah terpencil itu hanya tersedia bahan bakar minyak alias BBM berkualitas rendah, bahkan di bawah EURO 2.
“Truk produk Indonesia, telah setara dengan EURO 4, tidak sedikit buatan di sini yang dikembalikan oleh perusahaan tambang, karena memang tidak ada persediaan BBM. Itu alasannya,” kata Kukuh.
Dengan demikian, seolah arus impor truk itupun tidak melalui prosedur dan persyaratan sebagaimana yang berlaku bagi truk produksi lokal. “Mereka tidak ikuti uji tipe yang dilihatnya juga standar emisinya,” kata Kukuh.
ANCAMAN INDUSTRI
Melihat kondisi demikian, Kukuh mengungkapkan praktik importasi truk asal Tiongkok dengan dalih operasional pertambangan, membuat persaingan pasar yang tidak adil. Sewaktu berbagai persyaratan dikenakan bagi truk lokal, melalui uji tipe ataupun registrasi Kepolisian, truk impor China bisa langsung beroperasi di berbagai daerah.
“Kalaupun itu dimasukan dalam kategori barang modal, Gaikindo telah bertanya kepada BKPM, mereka menjawab bahwa seluruh barang modal yang akan dimasukan telah berkoordinasi dengan Kemenperin,” katanya.
Ambruknya pasar akibat terjangan impor ini telah berlangsung selama tiga tahun belakangan. “Hampir semua produsen truk di sini mengeluhkan hal tersebut, terlebih di tengah situasi permintaan yang minim, hal ini mengancam industri,” tegas Kukuh.
Sales & Marketing Director PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (Fuso) Aji Jaya mengungkapkan kondisi ini tengah mengancam industri otomotif nasional, khususnya produsen kendaraan niaga. “Bagaimana kami bisa bersaing, kalau produk impor dari China itu tidak melalui prosedur yang dikenakan kepada kami, harganya jadi lebih murah,” ungkapnya.
Terlebih lagi, jelas Aji, manakala produsen truk lokal dituntut untuk mengikis emisi karbon, truk-truk impor justru justru mengambil kesempatan dengan memasarkan produk dengan standar emisi di bawah Euro 4.
“Konsumen bisa beralih ke mereka, karena truk impor itu masih bisa konsumsi solar, sedangkan produk kami sudah standar BBM Euro 4 yang lebih mahal,” tukas Aji.