Bisnis.com, JAKARTA- Untuk sementara Iran dan Israel berdamai, menurunkan tensi perang di wilayah Timur-Tengah (Timteng) yang sempat memanaskan harga komoditas mulai dari minyak mentah, sawit hingga batu bara. Eskalasi Timteng itu berdampak langsung dan tidak langsung bagi industri otomotif nasional.
Hampir dua pekan eskalasi Timur-Tengah meninggi seiring perang Iran melawan Israel, sehingga berpotensi mengerek harga komoditas seperti sawit dan batu bara, selain minyak mentah.
Satu sisi eskalasi perang akan melambungkan ongkos produksi, tetapi juga menciptakan permintaan komoditas strategis milik Indonesia yang membantu permintaan pasar otomotif, terutama kendaraan komersial truk.
Namun, dari semua yang mengintip peluang peningkatan permintaan truk dari sektor komoditas, produk impor truk asal China memiliki kans terbesar untuk pertumbuhan penjualan.
Truk-truk impor tersebut yang sebenarnya diperuntukan bagi area khusus pertambangan, sebagaimana ditemukan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mulai membanjiri pasar.
Kebanyakan dari produk tersebut berharga lebih miring dibandingkan truk yang diproduksi manufaktur lokal. Sejauh ini produsen lokal dengan merek yang akrab seperti Mitsubishi Fuso, Isuzu, Hino, dan UD Truck disebut-sebut kalah saing secara harga.
“Pasalnya truk impor dari China itu tidak dibebankan berbagai tambahan biaya, mereka sepertinya tidak harus melakukan uji emisi, uji kelaikan jalan, uji tipe, istilahnya harga off the road,” kata Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Selama ini, kebutuhan truk di dalam negeri lebih banyak diisi para manufaktur lokal. Namun belakangan seiring pemerintah melonggarkan keran impor, termasuk produk otomotif, arus impor truk malah tak terbendung.
Persoalannya merujuk regulasi, impor truk dilonggarkan hanya untuk kebutuhan khusus seperti di area tambang. Bahkan sebagaimana diatur Permendag No.8/2024, impor itu termasuk truk dalam keadaan bekas.
“Hanya saja yang datang itu mayoritas truk baru, dan digunakan tidak sekadar di tambang. Seharusnya mereka juga mengikuti aturan seperti uji tipe, standar emisi, kelaikan jalan untuk mendapatkan registrasi,” tambah Kukuh.
Di lapangan, jelasnya lagi, banyak ditemukan truk-truk impor dari China beroperasi sudah melekatkan nomor registrasi. “Ini yang kami belum tahu bagaimana mereka mendapatkannya,” jelasnya lagi.
Kondisi ini bakal diperparah seiring eskalasi yang terjadi di Timteng. Untuk manufaktur, kata Kukuh, dampak langsung adalah ongkos produksi yang meningkat seiring harga batu bara maupun minyak mentah terkerek naik.
“Dari sisi pasar, dampak tidak langsung seharusnya tumbuh permintaan truk untuk operasional tambang dan sawit, tetapi peluang itu malah diambil truk impor,” katanya.
Hantaman truk impor memang terasa bagi industri otomotif nasional dalam beberapa tahun belakangan. Untuk tahun lalu saja, sewaktu penjualan truk ambrol hingga 20%, serta penjualan otomotif secara keseluruhan juga menurun, total nilai impor kendaraan angkutan barang melesat.
Sepanjang tahun lalu, sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai impor kendaraan bermotor dan bagiannya yang terhimpun dalam kode HS 87, sebesar US$9,7 miliar. Nilai impor truk (HS 87041037) jadi salah satu dari 40 komoditas dengan nilai total impor terbesar dalam setahun, yakni US$643,5 juta, setara Rp10,5 triliun.
“Karena itu, kami mengharapkan agar ada evaluasi kebijakan, agar industri dalam negeri tidak mati perlahan,” tutup Kukuh.