Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Uni Eropa mengerek tarif impor mobil listrik impor asal China malah memicu protes dari pabrikan otomotif 'Benua Biru'. Pabrikan asal Jerman seperti BMW, Mercedes-Benz (Mercy) hingga Volkswagen khawatir adanya balasan kebijakan dari pemerintahan Xi Jinping.
Para pabrikan asal Eropa justru khawatir dengan agresivitas pengetatan impor mobil listrik China bakal menuai balasan. Hal paling ditakutkan adalah perang dagang yang meluas akan berimbas terhadap entitas bisnis Eropa di China.
Dilansir dari Reuters Kamis (13/06/2024), produsen mobil Jerman BMW angkat bicara terkait kekhawatiran tersebut. CEO BMW Oliver Zipse mengatakan cara-cara Uni Eropa ini salah, berpotensi memberikan kerugian pabrikan di China.
Keputusan mengenai tarif mobil listrik produksi China yang dipatok tinggi sekitar 38,1%, berlaku mulai bulan Juli mendatang.
Hal ini tidak mencegah produsen mobil Tiongkok untuk mengekspor ke Eropa, karena mereka dapat menyerap biaya tambahan dan tetap memperoleh keuntungan.
Hingga saat ini, sebagian besar produsen mobil China tidak memberikan respon setelah tarif diumumkan.
Baca Juga
Salah satu produsen mobil listrik China yakni Nio, tetap berpegang pada komitmen untuk terus mengarungi pasar mobil listrik Eropa, meskipun secara resmi perusahaan menentang kebijakan Eropa.
Di sisi lain, produsen ternama seperti BYD dan Cherry mengumumkan telah melakukan rencana untuk tetap memproduksi mobil di Eropa meskipun tarif mobil listrik naik signifikan.
Kepala penelitian otomotif di Rho Motion, Will Roberts mengatakan bahwa meskipun produsen mobil Tiongkok punya ruang untuk menyerap tarif, tetapi apakah pemerintah China akan membalas dengan cara yang sama.
Produsen Eropa, tambah Roberts, masih bergantung pada pasar Tiongkok, sehingga penurunan keuntungan dari negara-negara Timur hanya akan memperlambat kemampuan mereka untuk melakukan transisi secara efektif pada kendaraan listrik.
“Ini telah menjadi permainan berisiko tinggi bagi para pembuat mobil Jerman”, tuturnya.
Sebagaimana diketahui, China merupakan pasar besar bagi BMW, menyumbang sekitar 32%. Begitupun untuk Volkswagen (VW) dan Mercedes-Benz (Mercy) yang mendulang penjualan di Tiongkok, dengan besaran kontribusi sekitar 30% terhadap volume penjualan total.
Oleh karena itu, tindakan pembalasan yang terjadi dapat merugikan perusahaan-perusahaan tersebut dan perekonomian manufaktur Jerman.
Lebih jauh, penerapan tarif impor tinggi Uni Eropa, dinilai bakal menjurus pada isolasionisme dan hambatan bea cukai yang melanggar hukum yang nantinya hanya membuat segalanya menjadi lebih mahal dan semua orang menjadi lebih miskin.
Dampak negatif dari tarif tersebut akan lebih besar daripada potensi manfaatnya bagi industri otomotif Eropa dan khususnya Jerman.
Pada kesempatan lain, CEO Mercedes Ola Kaellenius menyatakan pencabutan pembatasan dan perluasan perdagangan yang adil dan bebas telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidak boleh mengambil arah yang berbeda.
Namun tarif tersebut juga akan berdampak pada mobil-mobil yang dibuat oleh produsen mobil Eropa di Tiongkok untuk konsumen Eropa.
Seperti yang terjadi pada produsen otomotif Renault yang telah mengimpor Dacia Spring EV buatan Tiongkok yang ke Eropa, dan mitra usaha patungannya di Tiongkok, Dongfeng masuk dalam daftar perusahaan yang kemungkinan akan terkena tarif sebesar 21%.
Produsen milik Elon Musk, Tesla yang mengimpor EV buatan China ke Eropa dan BMW mengimpor model kendaraannya Mini EV dan iX3.
Beberapa tahun belakangan, industri otomotif Eropa juga bergantung pada komponen Tiongkok, khususnya untuk kendaraan listrik karena China sebagai pemain utama rantai pasokan.
Sehingga di bulan lalu, CEO BMW Zipse mengisyaratkan bahwa perang dagang dapat berdampak buruk bagi transisi ke kendaraan listrik karena tidak mungkin membuat mobil di Eropa tanpa impor dari Tiongkok.
“Tidak ada Kesepakatan Hijau di Eropa tanpa sumber daya dari China,” kata Zipse. (Maria Jessica Elvera Marus)