Bisnis.com, JAKARTA — Laba PT Astra Daihatsu Motor (ADM) mengalami penurunan 16,34% sepanjang sembilan bulan 2023, akibat adanya kenaikan biaya material yang sebagian masih diserap oleh entitas PT Astra International Tbk. (ASII) tersebut.
Head of Corporate Investor Relations Astra International Tira Ardianti mengatakan adanya kenaikan harga material maupun harga komoditas dunia beberapa waktu lalu telah berdampak pada biaya produksi manufaktur.
Meski demikian, pabrik tidak bisa serta merta menaikkan harga sebesar kenaikan biaya tersebut. Alhasil sebagian besar biaya pun terpaksa ditanggung oleh pabrikan dahulu.
“Hal inilah yang mempengaruhi laba ADM turun dibandingkan tahun lalu meskipun volume penjualannya meningkat,” ujar Tira kepada Bisnis dikutip Senin (6/11/2023).
Dari data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo, total penjualan Daihatsu secara ritel mencapai 149.625 unit sepanjang Januari hingga September tahun ini. ADM masih mengemas pertumbuhan 6,2% dibandingkan 140.894 unit pada periode sama tahun lalu.
Sedangkan, kinerja keuangan PT Astra Daihatsu Motor tercermin dari laporan keuangan Astra International per 30 September 2023. Dalam laporan keuangan ASII tersebut, Daihatsu tercatat memperoleh pendapatan Rp58,43 triliun, naik 6,03% dibandingkan periode sama tahun lalu senilai Rp55,11 triliun.
Baca Juga
Meski terjadi pertumbuhan pendapatan, laba periode berjalan Daihatsu mengalami penurunan sepanjang sembilan bulan pertama 2023. Tercatat Daihatsu membukukan laba Rp2,27 triliun, turun 16,34% secara year-on-year (YoY) dari sebelumnya Rp2,72 triliun.
Jumlah aset Daihatsu tercatat mencapai Rp26 triliun sampai dengan September 2023, turun dibandingkan posisi pada 31 Desember 2022 yang mencapai Rp29,11 triliun.
Kemudian total liabilitas Daihatsu mencapai Rp11,92 triliun, turun dari Rp15,1 triliun dibandingkan posisi 31 Desember 2022.
Loyonya industri manufaktur inipun akibat kenaikan harga energi dan material juga disinggung Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif. Sebelumnya, dia mengatakan adanya kenaikan harga energi serta kenaikan suku bunga menyebabkan cost of fund sektor meningkat yang berdampak pada kenaikan harga barang manufaktur.
Selain itu, semakin melemahnya rupiah juga menyebabkan produk dengan bahan baku impor semakin tinggi sehingga berdampak pada kenaikan biaya produksi.
"Adanya tren perlambatan pertumbuhan global, khususnya pada negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, Eropa, menyebabkan penurunan drastis terhadap permintaan manufaktur Indonesia," ujar Febri dalam rilis IKI di Kantor Kemenperin, Selasa (31/10/2023).