Bisnis.com, JAKARTA - E-fuel baru-baru ini menjadi banyak dibicarakan karena peraturan emisi yang lebih ketat dikeluarkan Uni Eropa. Pasalnya, wilayah benua biru tersebut ingin segera mencapai netralitas karbon pada 2035 dengan melarang mobil bertenaga bensin dan diesel.
Dilansir euronews.com pada Kamis (25/5/2023), aturan tersebut kemudian direspon oleh beberapa negara Eropa, salah satunya Jerman. Negara itu berpendapat bahwa teknologi nol emisi lainnya harus dipertimbangkan seperti dari sisi bahan bakar.
Oleh sebab itu, Jerman meminta Komisi Eropa (EC) untuk mengajukan proposal tentang bagaimana mesin pembakaran dapat terus berjalan dengan bahan bakar elektronik setelah tahun 2035.
Kemudian, Jerman akhirnya mencapai kesepakatan dengan EC pada Maret untuk melakukan penjualan kendaraan cetus internal tetapi dengan bahan bakar 'netral karbon' setelah waktu larangan. Hanya saja, kesepakatan ini menimbulkan persoalan baru tentang kelayakan, biaya dan realitas jangka panjang dari kendaraan bertenaga e-fuel.
Di Jerman, dukungan penggunaan e-fuel datang dari sekitar 800.000 pekerjaan yang saat ini masih mengandalkan produksi kendaraan bermesin bakar. Bahkan, jajak pendapat baru-baru ini juga menemukan bahwa 68 persen orang menentang larangan UE pada mobil bensin dan diesel.
Golongan yang mendukung e-fuel mengkampanyekan bahwa bahan bakar ini menawarkan kesempatan untuk mengurangi emisi karbon tanpa harus mengganti setiap kendaraan dengan kendaraan listrik.
Baca Juga
Oleh sebab itu, bahan bakar ini perlu dukungan dari aturan yang dikeluarkan pemangku kebijakan, sehingga dapat dengan cepat meningkatkan produksi.
“Jika kondisi pasar dan aturan produksi tepat, bahan bakar elektronik dapat mulai diproduksi pada tahun 2025 dan terus ditingkatkan untuk memungkinkan penggantian bahan bakar konvensional pada tahun 2050,” kata aliansi industri eFuel.
Namun, sebagian besar perusahaan mobil telah bertaruh pada peralihan ke kendaraan listrik daripada bahan bakar ramah lingkungan ini. Seperti halnya dari perusahaan mobil dengan merek Audi. Menurut Bos Audi, Markus Duesmann mengatakan kepada situs berita Jerman Der Spiegel awal tahun ini bahwa bahan bakar sintetis tidak akan bertahan lama.
"[e-fuel] tidak akan memainkan peran penting dalam jangka menengah untuk masa depan mobil penumpang," kata Markus.
Sementara, Analisis oleh LSM Transportasi & Lingkungan (T&E) menyampaikan bahan bakar sintetik hanya akan cukup untuk sekitar 2 persen mobil Eropa. Itu berarti hanya 5 juta dari 287 juta mobil yang diproyeksikan UE dapat berjalan dengan bahan bakar ini.
Selain produksi yang terbatas, e-fuel juga memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar konvensional, atau 50 persen lebih tinggi dibanding bahan bakar yang eksis saat ini. Mereka mengatakan biaya rata-rata pengemudi setidaknya perlu menghabiskan €2.300 atau Rp36,8 juta setahun untuk mengisi mobil mereka dengan bensin sintetis.
Sebagai informasi, E-fuel ini merupakan alternatif sintetik untuk bahan bakar fosil yang terbuat dari hidrogen dan CO2. Tentunya, bahan bakar ini bisa digunakan pada mesin pembakaran internal dan tetap didistribusikan menggunakan jaringan yang sudah ada.
Namun, sebelum itu hidrogen perlu diproduksi menggunakan energi terbarukan atau bebas CO2 dan harus berasal dari penangkapan emisi agar dianggap netral karbon.
Adapun, pabrik e-fuel komersial pertama dibuka di Chili pada tahun 2021. Pabrik ini bertujuan untuk memproduksi 550 juta liter per tahun dan didukung oleh pembuat mobil Porsche. Norsk e-Fuel dari Norwegia berencana untuk membuka yang lain karena akan mulai memproduksi e-fuel pada tahun 2024.
Pada 2026, diharapkan pabrik ini meningkatkan operasinya untuk menghasilkan 25 juta liter, selain pada kendaraan di darat bahan bakar ini akan berfokus pada transportasi udara. pada tahun 2026 - tetapi terutama akan berfokus pada penerbangan.