Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Subsidi Kendaraan Listrik Bebani APBN, Pemerintah Lebih Baik Terapkan Cukai Karbon

Rencana pemerintah menggelontorkan subsidi pembelian kendaraan bermotor yang bakal membebani APBN sebesar Rp7,8 triliun dianggap kurang tepat.
Konvoi kendaraan listrik yang dilakukan PLN untuk menyosialisasikan penggunaan kendaraan listrik./Istimewa
Konvoi kendaraan listrik yang dilakukan PLN untuk menyosialisasikan penggunaan kendaraan listrik./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memberikan subsidi bagi pembelian motor listrik menuai pro dan kontra. Pasalnya, nilai insentif yang digadang mencapai Rp7,8 triliun dikabarkan akan berasal dari APBN.

Namun, hingga saat ini pemerintah masih mengkaji skema subsidi, sumbernya dan berapa besar kucuran anggaran yang dibutuhkan.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menyampaikan saran untuk sumber insentif kendaraan listrik ini bisa diambil dari cukai kendaraan yang menghasilkan karbon tinggi.

"Komitmen pemerintah Rp7,8 triliun itu akan kami sangat hargai, tapi akan lebih bagus setelah itu kita set up regulasi yang tidak membebani APBN, anggaran tadi jangan diambil dari APBN, melainkan dari cukai yang tidak memenuhi standar karbon," ujar Ahmad dalam 'FGD Zero Carbon Emission Vehicle', Rabu (14/12/2022).

Pria yang biasa disapa Puput itu menyarankan agar pemerintah untuk segera menerapkan detail mengenai standar karbon kendaraan bermotor baik yang sudah diproduksi atau dipasarkan di Indonesia.

"Karena standar karbon itulah yang akan dijadikan acuan untuk memberikan insentif dan disentif, insentif yang digunakan untuk mengurangi harga jual rndah kerbon, kemudian cukai disentif untuk kendaraan yang melampaui standar karbon," terangnya.

Lebih lanjut, menurut Puput ini sangat adil. Mengingat Indonesia telah mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan pada 1992 di Rio de Janeiro.

Salah satu prinsipnya adalah prinsip Polluter Pays Principle, yang artinya siapa yang telah menghasilkan pencemaran lebih banyak harus bisa membayar atas dampak yang diberikannya.

"Saya pikir adil ya, toh kita sudah mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan 1992 yang ditandatangani di Rio de janeiro, itu salah satu prinsip polluter pays priciple siapa yang membuat polusi yang membayar," tambahnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper