Bisnis.com, JAKARTA – Setelah mendirikan perusahaan produsen baterai bernama bernama Indonesia Battery Corporation (IBC), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih memiliki tantangan untuk bisa bersaing di tingkat dunia terutama tenggat operasi pabrik serta menggaet kerja sama dengan produsen otomotif global.
Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury mengatakan strategi untuk menghadapi persaingan dua produsen baterai terbesar dunia adalah dengan cara menyelaraskan langkah dua negara produsen baterai terbesar, yakni Amerika dan China.
“Salah satu kunci dalam persaingan antara China dan AS untuk menjadi pemain dominan di baterai, saya pikir salah satu yang harus dilakukan adalah menyelaraskan Indonesia dengan dua produsen terbesar di dunia," ujar Pahala.
Namun, Pahala menambahkan untuk bisa setara dengan dua negara tersebut diperlukan waktu yang tidak sebentar. Oleh sebab itu, saat ini BUMN sedang menggenjot perkembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, salah satunya dengan mengoptimalkan pabrik yang dimiliki IBC saat ini.
"Pembangunan produksi baterai ini membutuhkan waktu 5-6 tahun. Indonesia tidak bisa menunggu 5 tahun. Kami harus mulai mengembangkan ekosistem EV, sekarang juga. Begitulah peta jalan yang kami miliki di IBC," terang Pahala.
Sebaliknya, seiring perebutan teknologi yang lebih efisien, pabrikan mobil listrik telah merancang baterai tanpa nikel. Hal itu seperti dilakuan Tesla, sebagaimana tertuang dalam kuartal I/2022 yang menyebutkan bahwa hampir setengah kendaraan listrik (EV) produksinya beralih menggunakan baterai berbasis besi atau lithium ferro phosphate (LFP).
Baca Juga
Sebelumnya Tesla memang menggunakan baterai berbasis nikel (NCA/NMC). Baterai LFP sama sekali tidak menggunakan nikel.