Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengejar Target Emisi Karbon Otomotif, Mesin Flexi Jadi Anak Tiri?

Di tengah beratnya tantangan mengubah sumber energi listrik, teknologi Flexi Engine yang mengutamakan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati masih kurang didorong.
 Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bersama Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati serta Deputi CEO Budi Santoso Syarif menjajal kendaraan berbahan bakar D-100 saat melakukan kunjungan kerja ke PT Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau, 15 Juli 2020. /KEMENPERIN
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bersama Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati serta Deputi CEO Budi Santoso Syarif menjajal kendaraan berbahan bakar D-100 saat melakukan kunjungan kerja ke PT Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau, 15 Juli 2020. /KEMENPERIN

Bisnis.com, JAKARTA- Program kendaraan ramah lingkungan yang digulirkan pemerintah seakan menitiberatkan kepada proses elektrifikasi. Tetapi, potensi lainnya seolah terabaikan, seperti kehadiran mobil bermesin fleksi/flexi engine yang kurang didukung infrastruktur.

Pemerintah sangat serius mengarahkan industri otomotif kepada tren elektrifikasi. Hal ini sejalan dengan tren global serta potensi kandungan mineral Indonesia yang digadang-gadang siap menjadi produsen baterai kendaraan.

Upaya itupun tercermin dalam berbagai kebijakan seperti penerbitan Perpres No. 55/2019, serta kebijakan insentif lainnya bagi produk berbasis electric vehicle (EV). Sebaliknya, populasi EV baik secara global maupun domestik, masih terbilang kecil dari total keseluruhan penjualan mobil.

Meskipun laju pertumbuhan EV sangat fantastis. Jika pada 2020, penjualan EV (BEV dan PHEV) mencapai 3 juta unit, pada tahun lalu jumlah itu menembus kisaran 6 juta unit.

Salah satu faktor utama kendala memassalkan EV adalah harga yang lebih mahal, serta investasi infrastruktur yang cukup tinggi. Tidak heran, pasar terbesar EV masih berkisar di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa Barat.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, problem menggenjot EV jauh lebih kompleks. Sumber energi listrik masih dalam tahap awal transisi dari sumber fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) yang juga menelan investasi besar.

Namun ada jalan alternatif guna mengejar target penghapusan emisi karbon. Pemerintah pun telah menyusun perangkat kebijakan, seperti adanya Permenperin No.36/2021 tentang kendaraan bermotor roda empat rendah emisi (LCEV/low carbon emission vehicle).

Beleid itu menyatu dengan ketentuan perpajakan sebagaimana diatur PP No.73/2019 dan revisinya. Mobil berteknologi rendah emisi dan berpotensi mendorong tingkat industrialisasi berdasarkan beleid tersebut mencakup LCGC, HEV, PHEV, BEV, FCEV, dan satu lagi Flexi Engine.

Untuk yang disebut terakhir, teknologi mesin Fleksi sepertinya kurang populer di tengah masyarakat. Padahal program tersebut telah berjalan cukup lama.

Sebagaimana Permenperin No. 36/2021, disebutkan teknologi Fleksi adalah kendaraan bermotor yang menggunakan sumber bahan bakar berupa BBN 100 persen. Di Indonesia dikenal dengan D100 dan E100.

Jika dibandingkan dengan mobil jenis lain seperti LCGC maupun grup EV, dorongan program dan kesiapan infrastruktur untuk mobil Fleksi sangat lamban. Hingga kini, program terkait yang maju secara perlahan adalah Biodiesel yang baru mencapai fase percobaan B40.

Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara membenarkan kondisi tersebut. “Arahnya kan memang bukan langsung sepenuhnya nol emisi, melainkan netral karbon. Kalau demikian, sepertinya masuk akal untuk mengebut pengembangan Flexi Engine. Selama ini persoalannya pada standardisasi bahan bakar nabati,” ungkapnya kepada Bisnis belum lama ini.

Dia menilai meski ada kemajuan pada segmen diesel dengan ujicoba B40, guna menggapai target sebenarnya seperti netral karbon, masih cukup jauh. “Apalagi kalau diesel itu hanya sekitar 25% di pasar domestik, sisanya gasoline yang bisa dikembangkan teknologi Fleksi menggunakan ethanol,” kata Kukuh.

Sejauh ini, lanjut Kukuh, pabrikan di Indonesia telah mempunyai teknologi Fleksi ini, bahkan ada yang sudah mampu mengekspor. Di negara tujuan, katanya, teknologi Fleksi tersebut malah menggunakan E85.

“Mengingat saat ini kita masih dalam tahap transisi energi, pilihan netral karbon menggunakan Fleksi merupakan opsi paling memungkinkan, jadi tidak tergantung dengan listrik saja, ada keseimbangan bauran energi,” jelas Kukuh.

Lebih jauh, menengok Thailand yang juga menyerap teknologi Fleksi, sumber bahan ethanol pun bisa dicari dengan mudah. “Di kita bisa dari tanaman umbi seperti Singkong, atau ragam lainnya, jadi ke depan kalau ini difokuskan juga, Indonesia memiliki banyak pilihan sumber energi seiring juga menyelesaikan persoalan emisi,” tutup Kukuh.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper