Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Presiden tentang Percepatan kendaaraan listrik jalan raya telah terbit lebih dari 1 tahun lalu. Akan tetapi, populasi kendaraan berbasis baterai masih sangat minim. Indonesia perlu belajar dari pengalaman China.
Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong penggunaan kendaraan terelektrifikasi. Tekat ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Perpres ini ditetapkan pada 8 Agustus 2019, dan diundangkan pada 12 Agustus 2019.
Akan tetapi, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, kendaraan listrik yang lulus uji tipe sampai saat ini hanya 16 tipe, adapun jumlah Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) yang telah dirilis baru 2.280 unit.
Akan ini pun masih didominasi oleh tipe kendaraan sepeda motor listrik dengan 1.947 SRUT (69,54 persen), kendaraan roda tiga 100 SRUT (3,57 persen), adapun kendaraan roda empat 229 SRUT (8,18 persen).
Sertifikasi Uji Tipe (SUT) menunjukkan model yang siap produksi, adapun SRUT menunjukkan jumlah unit yang siap mengaspal di jalan. Angka SUT maupun SRUT ini masih sangat minim dibandingkan dengan volume pasar sepeda motor yang mencapai 6 juta unit per tahun atau kendaraan roda empat atau lebih yang mencapai 1 juta unit.
Padahal, kendaraan listrik telah menjadi tren global sejak lama, dan wacana penggunaan kendaraan listrik juga hal yang baru. Meski Perpres 55 telah terbit sebagai payung hukum, namun kehadirannya sejauh ini tampak belum mempercepat laju penggunanaan kendaraan baterai.
Baca Juga
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia diingatkan untuk sungguh-sungguh belajar dari China dalam mengembangkan industri kendaraan listrik agar tidak mengulangi kesalahan dan kebiasaan yang salah pada masa lalu.
"Indonesia bisa belajar dari negara China. Namun, apakah Indonesia mau sungguh-sungguh belajar dari negara itu untuk jadi produsen kendaraan listrik nasional, atau hanya akan mengulang kesalahan dan kebiasaan lamanya, dengan hanya menjadikan negara ini sebagai pasar netto yang lebih menguntungkan negara prinsipal pemegang merek, itulah yang nantinya kita bisa lihat dari perjalanan waktu," kata pakar otomotif Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus seperti dikutip Antara, Minggu (13/9/2020).
Yannes mengatakan, Indonesia masih harus mengarungi perjalanan yang panjang dalam proses pengembangan industri kendaraan listrik. Kebijakan negara atau pemerintah merupakan aspek sangat penting dari solusi transportasi berkelanjutan berbasis baterai ini.
"Ada tiga faktor penentu yang harus dipikirkan secara bersungguh-sungguh untuk mengubah berbagai kelemahan mobil listrik menjadi sebuah kekuatan, yaitu pengembangan teknologi, konsistensi dukungan pemerintah serta perubahan perilaku individu pengguna mobil," katanya.
Dilihat dari aspek teknologi, kesiapan komponen dan infrastruktur berupa baterai serta teknologi pendukungnya, Yannes percaya pemerintah cukup serius untuk mengembangkan industri kendaraan listrik.
Namun, beberapa hal yang juga mulai mencuat adalah masalah harga energi listrik, aspek keamanan, keandalan produk, biaya produksi baterai sebagai komponen utama, serta desain kendaraan, akan menjadi hal-hal yang harus mendapat perhatian serius.
"Harus dipikirkan benar-benar, bagaimana caranya agar dari segala aspek, kendaraan listrik ini nantinya mampu bersaing dengan kendaraan bermotor yang masih menggunakan bahan bakar fosil dan alternatif yang memang masih berlimpah seperti gas dan biofuel," ujar Yannes.
Dukungan politik pemerintah melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan publik juga harus mulai dipikirkan secara serius keberlanjutannya.
Kajian ulang perlu dilakukan terhadap studi kelayakan mulai dari rencana bisnis, kesiapan infrastruktur serta dan insentif yang akan diberikan pemerintah agar program tersebut dapat bersaing dengan kendaraan berbahan bakar fosil.
Yannes memperkirakan implementasi program kendaraan listrik ini di masa depan juga akan berhadapan dengan banyak aspek lain, seperti perubahan perhitungan biaya perjalanan dalam skala besar, jalan tol dan kemacetan lalu-lintas serta semakin ketatnya standar emisi, program pengembangan teknologi dan standardisasi infrastruktur pengisian listrik untuk baterai kendaraan.
"Harus diperhatikan, teknologi dan keamanan baterai akan menjadi hal paling krusial dalam semua kendaraan listrik," katanya.
TAK PERLU NAIF
Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Panjaitan mengatakan dalam pengembangan industri kendaraan listrik Indonesia akan menggandeng sejumlah negara, antara lain China.
"Negara ini teknologi industri kendaraan listriknya sudah sangat maju, dan bahkan hampir merajai industri kendaraan listrik di dunia,” kata Luhut dalam sebuah webinar bertajuk "Kesiapan Pemangku Kepentingan Dalam Percepatan Investasi Produksi Kendaraan Listrik dan Infrastruktur Pendukung" di Jakarta, pekan lalu.
Indonesia, kata Luhut, tidak perlu naif untuk belajar teknologi kendaraan listrik dari China karena negara itu memiliki pengalaman yang sudah sangat lama dalam mengembangkan kendaraan listrik.
Namun demikian, Luhut mengingatkan, ke depannya harus ada transfer teknologi agar tenaga-tenaga ahli Indonesia nantinya juga mampu secara mandiri mengembangkannya.
"Untuk itu Indonesia sudah mengirimkan banyak tenaga ahli ke berbagai universitas terkemuka ke China untuk belajar bagaimana mengembangkan kendaraan listrik. Kita pelajari keberhasilannya, juga kesalahan yang pernah mereka alami," kata Luhut.
SEJUMLAH KENDALA
Dalam laporan China Business Review bertajuk Opportunities and Challenges in China’s Electric Vehicle Market, China telah pengembangan listrik--bersama mobil hibrida dan sel bahan--melalui program New Energy Vehicle (NEV) sejak 2001.
Pada 2012, Dewan Negara merilis Pemberitahuan tentang Konservasi Energi dan Pengembangan Industri Kendaraan Energi Baru (2012-2020), yang menyerukan produksi dan penjualan 500.000 kendaraan listrik dan hibrida pada 2015, dan menjadi 2 juta pada 2020.
Akan tetapi, penjualan NEV pada 2013 hanya 17.624 unit dari 21,98 juta kendaraan yang dijual di China (0,1 persen). Ini hampir tidak mencapai target 500.000 NEV pada 2015, dan sangat kontras dengan angka di pasar lain, seperti di Amerika Serikat mencapai 96.000 unit pada 2013 saja.
Salah satu kendala yang dihadapi China adalah label harga tinggi. Selain harga dasar yang mahal, baterainya juga mahal, sehingga mengurangi permintaan konsumen. Kurangnya infrastruktur pengisian daya listrik juga menjadi masalah utama.
Pada akhir 2013, China's State Grid Corporation - salah satu dari dua perusahaan milik negara China - hanya membangun 400 stasiun pengisian daya. Sebaliknya, pada Mei 2013 Amerika Serikat memiliki lebih dari 20.000 stasiun pengisian daya.
Terlepas dari kendala ini, pada 2014 terjadi perubahan di pasar NEV China, dengan catatan penjualan yang melejit 325 persen dari tahun sebelumnya menjadi 74.800 unit.
Kemajuan teknologi bahan bakar alternatif telah membuat NEV lebih menarik bagi konsumen China, tetapi banyaknya kebijakan nasional yang menyubsidi produksi dan penjualan NEV menjadi pendorong utamanya.
Kebijakan paling signifikan muncul pada September 2013, ketika empat kementerian merilis promosi penggunaan NEV antara 2013 dan 2015. Rencana 2013 memberikan subsidi nasional sebesar RMB 35.000-60.000 (US$5.656- US$9.696) untuk konsumen yang membeli NEV. Syaratnya, kendaraan diproduksi secara lokal.
Subsidi terus berjalan namun turun setiap tahun hingga pasar dibiarkan memainkan peran yang lebih besar dalam konsumsi.
Selain itu, pembelian NEV dibebaskan dari pajak dan biaya lainnya. Pada September 2014, Dewan Negara China menghapus pajak pembelian 10 persen untuk NEV buatan dalam negeri, yang akan berlanjut hingga 2017.
Beberapa pemerintah daerah, termasuk Shanghai, bereksperimen dengan program pelat nomor gratis untuk Tesla baru. Pelat nomor di Shanghai dijual rata-rata RMB 74.000 (US$11.959).
Pemerintah daerah lain juga menawarkan progra. Insentif lokal bisa mencapai RMB 60.000 (US$9.696), memberikan total subsidi pembelian RMB120.000 (US$19.395) untuk kendaraan yang memenuhi syarat.
China juga telah mengambil langkah-langkah penting untuk menopang infrastruktur pengisian yang mendukung peningkatan permintaan konsumen bersama dengan insentif lainnya. Pada Mei 2014, China's State Grid mengumumkan rencana untuk membuka jaringan listrik terdistribusi dan pasar peralatan pengisian kendaraan listrik - yang sebelumnya dikelola negara - kepada investor swasta sebagai cara untuk mempromosikan tingkat konstruksi tiang pengisian.
Pada Agustus, kota besar seperti Beijing, Shanghai, Shenzhen, dan Guangzhou, merilis rencana untuk membangun infrastruktur terkait NEV, termasuk stasiun pengisian daya, tiang pengisian daya, pusat pertukaran listrik, dan pusat distribusi daya.
Dan pada akhir November, empat kementerian terpisah mengumumkan rencana untuk mensubsidi pembangunan, pengoperasian, dan peningkatan stasiun pengisian NEV di kota-kota yang memenuhi syarat.
Terakhir, pada Juli 2014, Administrasi Kantor Pemerintah Nasional menyatakan bahwa dari 2014-2016, tidak kurang dari 30 persen dari semua mobil pemerintah yang dibeli setiap tahun harus bertenaga baterai, bensin-listrik hibrida, atau kendaraan non-polusi baru lainnya.
Seperti dikutip dari mordorintelligence.com, pasar kendaraan listrik China diproyeksikaan bertumbuh lebih dari 25 persen selama periode 2020-2025.
Hal ini didorong oleh peningkatan kepedulian terhadap lingkungan, dan peningkatan emisi gas buang, negara ini telah berfokus menuju pengembangan transportasi berkelanjutan.
Selain kendaraan penumpang, negara tersebut juga meningkatkan adopsi bus listrik, karena lebih dari 30 kota di China telah membuat rencana untuk mencapai 100% angkutan umum berlistrik pada 2020, seperti Guangzhou, Zhuhai, Dongguan, Foshan, dan Zhongshan di Delta Sungai Mutiara, bersama dengan Nanjing, Hangzhou, Shaanxi, dan Shandong.
Indonesia juga memiliki banyak kota besar, namun sampai saat ini, komiten penggunaan bus listrik sebagai bagian dari transformasi sistem transportasi massal ramah lingkungan baru dilakukan DKI Jakarta.