Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pabrikan mobil serentak menyatakan keprihatinan mendalam atas kasus rasisme yang terjadi di Amerika Serikat, sehingga menyebabkan pemuda bernama George Floyd meninggal.
Salah satunya Toyota Motor Corporation yang mengungkapkan kekecewaan atas kekerasan, pembunuhan dan rasisme terhadap orang Afrika-Amerika di Minnesota, Kentucky, Georgia dan di tempat lain.
“Kami semua baru-baru ini mengalami peristiwa yang memilukan, mengganggu dan menantang sehingga memiliki dampak buruk pada berbagai tingkatan dan komunitas nasional,” tulis Toyota Motor seperti dikutip dari siaran persnya, Kamis (4/6/2020).
Perusahaan asal Jepang itu pun menyatakan komitmennya untuk terus berfokus pada hak asasi manusia dan mendukung penuh penghormatan terhadap semua orang.
Mary Barra, CEO General Motors, dalam tulisan kepada 180.000 karyawannya di seluruh dunia mengungkapkan kekecewaan mendalam atas kekerasan yang menimpa orang kulit hitam di Amerika Serikat (AS).
Dalam tulisannya tersebut, Barra mengatakan kematian George Floyd, Ahmaud Arbery, dan Breonna Taylor telah menambah daftar panjang orang keturunan Afrika-Amerika yang terpaksa kehilangan nyawa hanya karena persoalan warna kulit.
Baca Juga
Pada 25 Mei, George Floyd, seorang Afrika-Amerika, meninggal di Minneapolis setelah seorang petugas polisi berlutut selama beberapa menit di lehernya. Ahmaud Arbery, keturunan Afrika-Amerika, ditembak mati pada 23 Februari ketika sedang berlari kecil di Brunswick,Georgia.
Selain itu, polisi di Louisville, Kentucky membunuh Breonna Taylor, seorang teknisi ruang gawat darurat Afrika-Amerika, saat mengeksekusi surat perintah penggeledahan yang berujung konfrontasi singkat pada 13 Maret.
"Saya sama-sama tidak sabar dan jijik dengan kenyataan bahwa sebagai suatu bangsa, kita tampaknya ditenangkan oleh diskusi pasif. Mengapa ini terjadi?,” tulis Mary Barra.
Keprihatinan juga datang dari CEO Ford Motor, Jim Hackett. Dalam pernyataan resminya dia menyebutkan rasisme secara sistemik masih ada di AS sehingga memunculkan ketakutan-ketakutan yang menghantui orang dengan kulit berwarna.
“Banyak dari kita tidak tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas kulit berwarna, tahu bagaimana rasanya takut setiap kali anak-anak kita meninggalkan rumah, atau khawatir bahwa hari ini mungkin yang terakhir bagi kita. Hidup dengan ketakutan itu, bagaimana kita bisa hidup dengan diri kita sendiri?,” tulis Jim.
Hingga saat ini, gelombang demonstrasi dari mayoritas masyarakat AS masih menyebar di seluruh wilayah negara tersebut. Aksi semakin meluap karena Presiden Donald Trump cenderung menggunakan gaya militeristik dalam meredakan demonstrasi.