Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia dinilai wajar apabila menyeret Vietnam ke sidang sengketa di World Trade Organization (WTO) lantaran telah menghambat arus masuk mobil impor.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa pasar tujuan ekspor harus diperjuangkan, untuk memperkuat basis produksi otomotif dalam negeri. Dalam skala lebih besar, produksi akan membuka lapangan pekerjaan lebih banyak dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Wajar apabila mempermasalahkan persoalan ekspor kendaraan utuh atau completely built up (CBU) ke Vietnam melalui WTO," ujar Hikmahanto Juwana kepada Bisnis, Kamis (3/5/2018).
Negara di kawasan Asia Tenggara telah resmi memberlakukan Perjanjian Dagang Bebas Asean (AFTA). Setiap negara yang tergabung ke dalam organisasi Asean tidak lagi bisa membendung produk dari negara lain menggunakan bea masuk.
Namun, bea masuk bukan satu-satunya jalan pemerintah mengatur produk dari negara lain. Satu di antaranya adalah dengan memberlakukan sejumlah aturan yang menyulitkan importir.
Vietnam telah menerbitkan Decree No. 116/2017/ND-CP pada 17 Oktober 2017, yang isinya memperketat impor mobil CBU ke negara tersebut. Regulasi itu mewajibkan setiap perusahaan membawa vehicle type approval (VTA) dari negara asal, dan dilakukannya pengecekan emisi dan keselamatan pada setiap pengapalan dan model.
Baca Juga
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian hendak mengajukan gugatan ke WTO terkait aturan baru Vietnam, Decree 116. Pemerintah menilai regulasi itu bisa jadi sebagai bentuk non-tariff barrier yang melanggar aturan perdagangan bebas.
“Kalau melanggar WTO harus kita ajukan. Begitu prosedurnya,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Harjanto.