KETIKA tren kendaraan listrik di dunia makin menghangat, tak banyak merek yang mengusung produk mobil elektrik di ajang pameran otomotif Indonesia GIIAS 2017, Agustus lalu. Di antara segelintir peserta yang membawa produk mobil listrik terbarunya adalah BMW.
Setidaknya, langkah BMW membawa mobil listrik i3 di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) itu menunjukkan sebuah keselarasan dengan arus perubahan industri global, sekaligus sinyal keseriusan pabrikan ini mengembangkan teknologi masa depan.
Pekan lalu, sinyal itu makin terang benderang. Di ajang Frankfurt Motor Show 2017, pekan kedua September, BMW untuk meluncurkan model terbaru mobil listrik empat pintu yang diposisikan antara citycar I3 dan mobil sport hibrida i8.
"Kami akan memperbanyak model listrik di antara semua model dan seri. Dan, itu termasuk merek Rolls-Royce dan BMW M," kata Chief Executive BMW Harald Krueger.
Tak hanya itu, Krueger menyatakan bahwa perusahaan akan mempercepat produksi besar-besaran mobil listriknya pada 2020. Tak tanggung-tanggung, BMW juga siap meluncurkan 12 model baru pada 2025.
“Pada 2025, kami akan menawarkan 25 mobil listrik, termasuk 12 model fully-electric," ujar Krueger seperti dikutip Reuters. Krueger menyatakan mobil listrik tersebut akan mampu menempuh perjalanan hingga 700 km (435 mil).
Langkah tersebut sekaligus akan mengejar sang perintis mobil listrik AS, Tesla, yang sudah berlari jauh di depan. Sebelumnya, pasar enggan dengan mobil listrik karena biayanya mahal, dan keterbatasan daya tempuh sampai Tesla meluncurkan Model S pada 2012, mobil yang mampu berlari 200 mil (322 km) dalam sekali charge.
Sepanjang Junuari-Juli tahun ini Tesla S dan Tesla X menguasai 33% pasar mobil listrik AS, sedangkan BMW dengan i3 dan i8 masih jauh tertinggal dengan hanya memangsa 4%. Penjualan mobil listrik di AS sebanyak 92.260 unit, termasuk 25.083 unit fully-electric.
Sejatinya, BMW Group telah mengumumkan upaya serius membangun BMW iNEXT sebagai ujung tombak teknologi di pabrik Dingolfing. iNEXT, yang akan dirilis pada 2021, akan menetapkan standar menyangkut pengendaraan swakemudi, elektrifikasi, dan konektifitas.
Keputusan ini menggarisbawahi bahwa signifikansi Jerman sebagai pusat pengembangan teknologi masa depan dan pengembangan mobilitas masa depan.
Rencana BMW mempercepat produksi besar-besaran mobil listriknya adalah sebuah gerakan besar elektrifikasi dari para raksasa pabrikan mobil.
BMW, termasuk merek Mini dan Rolls-Royce, dengan angka penjualan 2,34 juta mobil per tahun, mengumumkan langkahnya pada hari yang sama ketika pesaing kecilnya Jaguar menyatakan akan menawarkan model listrik atau hibrida pada 2020.
Rabu (13/9), Nissan meluncurkan versi baru mobil listrik Leaf dalam langkah terbarunya mengikuti Tesla, perusahaan AS yang didirikan Elon Musk ini telah menjual 83.922 kendaraan pada tahun lalu.
Mercedes Benz, pesaingnya dari negara yang sama Jerman, juga meluncurkan mobil listrik, yakni mobil listrik konsep EQA. Adapun Volkswagen memperkenalkan ID Crozz.
BATERAI
Kalangan raksasa pabrikan otomotif sempat melambatkan langkah pengembangan kendaraan elektrik, karena pasar dinilai masih belum menguntungkan, terutama karena biaya bateri sangat besar, 30%-50% dari total biaya sebuah mobil listrik.
Paket baterai dengan kapasitas 60 kWh dan kemampuan tempuh 500 km harganya saat ini sekitar US$14.000 (Rp189 juta), dibandingkan dengan mesin bensin yang harganya hanya US$5.000 (Rp67,5 juta). Ditambah motor listrik dan invester US$2.000 (Rp27 jutaan), jelas membuat kesenjangan makin besar.
Akan tetapi, investasi yang bertambah untuk peningkatan kapasitas pabrik bateri kemungkinkan memangkas harga mobil listrik ke titik kritis, yakni ketika mereka akan mencapai kesamaan harga dengan mesin bensin pada 2020--2030, berdasarkan analis Barclays.
Seiring dengan makin banyak perkotaan yang memperkuat pelarangan kendaraan mesin pembakaran atau menaikkan pajak diesel secara signifikan, biaya kepemilikan mobil listrik akan turun ke bawah biaya mesin bensin, dan Eropa akan menjadi pasar mobil elektrik 100% pada 2035, demikian analis ING.
Namun, di samping biaya, masalah kunci untuk mempopulerkan mobil listrik adalah lamanya waktu isi ulang baterai, dan keterbatasan stasiun isi ulang.
London membutuhkan dana 10 miliar euros (US$12 miliar) untuk membangun infrastruktur isi ulang ke level pembeli ritel bisa memiliki kendaraan elektrik, kata konsultan AlixPartners. Namun, sejauh ini belum ada alokasi untuk pengeluaran ini.
Apapun masalahnya, yang pasti para raksasa pabrikan otomotif sudah memulai laju memasuki gelanggang baru: pasar kendaraan listrik. ()