Bisnis.com, TANGERANG— Mana yang sebaiknya hadir lebih dulu, pasar kendaraan berbahan bakar gas (CNG vehicle) atau infrastruktur penunjangnya dalam hal ini SPBG? Pertanyaan ini ibarat bertanya mana yang lebih dulu hadir, telurkah atau ayam?
Pemerintah sebetulnya tidak perlu peras keringat sendiri untuk menyediakan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) karena bisa menggandeng swasta. Seperti ribuanstasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina ternyata yang betul-betul milik perseroan kurang dari 80 unit sisanya swasta.
Jadi, telur atau ayam dulu? Apapun itu yang jelas swasta memang kurang terangsang untuk membangun SPBG. Aspek lain yang mengganjal pengusaha mengurungkan niat berbisnis SPBG adalah perjanjian jual beli gas (PJBG) dengan Perusahaan Gas Negara (PGN).
“PJBG itu coba ditelaah dulu. Sekarang ini kan gasnya punya Pertamina tetapi pipa distribusinya milik PGN,” tutur Ketua I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto dalam Pameran GIIAS, di Tangerang Selatan, Rabu (26/8/2015).
Dia menyebut, ada satu poin di dalam PJBG dengann PGN yang merugikan pebisnis. Perseroan pelat merah itu menetapkan batas minimal dan maksimal suplai gas. Apabila melampaui limit ini, pengusaha SPBG justru kena biaya tambahan.
Jongkie mengaku, untuk SPBG yang dimilikinya, lebih memilih tutup meskipun penghujung bulan belum tiba. Apabila pada kisaran tanggal 25 volume penjualan gas mendekati batas maksimum maka dia memerintahkan anak buahnya libur dan SPBG tutup sementara.
“Selain itu, harga jual gas Rp3.100 [per liter setara premium] pakai mata uang rupiah sedangkan harga gas dari PGN pakai dolar. Yang tanggung rugi dari naik turun kurs itu pengusaha, kalau demikian siapa yang berminat investasi?” ucap dia.