Bisnis.com, JAKARTA - Di Tanah Air, transportasi adalah salah satu persoalan pelik. Walaupun Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan upaya—macam penghargaan kepada produsen mobil yang paling hijau hingga mengumumkan tingkat polusi udara—tetapi persoalan transportasi masih tak tertangani secara maksimal.
“Pada 2050, jumlah kendaraan akan berjumlah dua kali lipat dibandingkan pada hari ini,” kata MR Karliansyah, Deputi II Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH. “Emisi GRK dari sektor transportasi di perkotaan adalah sekitar 23% dari total emisi.”
KLH punya data yang tak kalah menarik. Berdasarkan data 2010, Kota Palembang dan Kota Surakarta saja menunjukkan partikel halus dari sektor transportasi mencapai 50%—70% dari total emisi partikel jenis tersebut. Oleh karena itu, KLH bersama dengan delapan pemerintah kota di Indonesia melakukan inventarisasi emisi. Tujuannya, untuk memeroleh data pencemaran udara sehingga dilakukan pelbagai tindakan untuk menguranginya.
KLH menyatakan manfaat yang diperoleh setelah adanya pengelolaan transportasi di antaranya a.l. mengurangi kemacetan, polusi udara dan emisi GRK itu sendiri. Delapan kota yang berpartisipasi adalah Banjarmasin, Batam, Denpasar, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Surakarta, dan Palembang.
“Penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi harus menjadi perhatian serius pemerintah kota,” ujar Karliansyah. “Menurunkan tingkat polusi udara berarti menurunkan emisi gas rumah kaca.”
Saya kira penting kabar dari Washington D.C kali ini kian penting untuk diingat. Don Anair, Direktur Riset UCS Clean Vehicles, mengatakan produsen mobil sebenarnya memiliki kesiapan teknologi yang bersih dan mulai menyebarkannya.
“Investasi berkelanjutan dan standar performa yang kuat, dapat memastikan model baru untuk mengurangi konsumsi bahan bakar,” paparnya. “Juga sambil menawarkan model paling efesien dan tebersih kepada konsumen mereka.”