Bisnis.com, JAKARTA - Alarm tanda bahaya untuk industri otomotif Tanah Air kembali menyala seiring dengan tekanan dari lemahnya pasar domestik dan ketidakpastian global.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi pun mengaku khawatir jika tensi konflik geopolitik semakin memanas, maka perang dunia ketiga berisiko meletus. Hal itu akan turut berdampak pada perekonomian global, tak terkecuali industri otomotif.
Nangoi menjelaskan, dua negara yang tengah berkonflik, yakni Pakistan dan India saat ini cukup berisiko karena lokasinya berdekatan dengan Asia Tenggara. Kemudian, konflik di Timur Tengah juga kian meluas dengan adanya saling serang antara Israel dan Iran.
“Sekarang di Timur Tengah, Israel dengan Hamas mulai agak sedikit mereda, eh dengan Iran malah lebih besar lagi. Kemudian negara pendukung sudah saling menyatakan dukungannya," ujar Nangoi saat Konferensi Pers GIIAS 2025, Rabu (18/6/2025).
Lebih lanjut, dia mengatakan, negara-negara G7 seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis justru menyatakan dukungan terhadap Israel, sedangkan China dan Rusia mendukung Iran. Artinya, eskalasi konflik berpotensi meningkat.
“Jadi kita masih belum tahu, mudah-mudahan tidak terjadi perang yang lebih besar. Karena kalau sampai terjadi perang itu bisa-bisa perang dunia ketiga meletus. Kalau itu terjadi ya selesai lah sebetulnya,” kata Nangoi.
Baca Juga
Nangoi pun berharap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mampu meredam konflik internasional dan mewujudkan perdamaian dunia.
“Tetapi kalau saya lihat harusnya PBB masih berperan, perdamaian masih bisa kita wujudkan. Kalau itu terjadi seandainya meleset pun 2 tahun ini masih agak sedikit tipis. Nah, yang membanggakan Indonesia agak jauh dari konflik-konflik tersebut. Ukraina dengan Rusia, Timur Tengah, India dengan Pakistan," katanya.
Penjualan Domestik Loyo
Di lain sisi, penjualan mobil domestik masih melemah. Sepanjang periode Januari-Mei 2025, total penjualan mobil wholesales turun 5,5% (year-on-year/yoy) menjadi 316.981 unit, dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebanyak 335.405 unit.
Sementara itu, penjualan mobil secara ritel pun susut 9,2% menjadi 328.852 unit, dibandingkan 5 bulan pertama 2024 sebanyak 362.163 unit.
Hal tersebut mencerminkan lesunya daya beli masyarakat seiring dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang masih cenderung stagnan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia pada kuartal I/2025 tumbuh sebesar 4,87% secara tahunan alias masih di bawah 5%. Angka itu juga lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 5,11% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Alhasil, para pelaku industri otomotif juga bertaruh asa pada ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 yang akan diselenggarakan pada tanggal 24 Juli-3 Agustus 2025 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City.
Kendati demikian, Nangoi masih optimistis industri otomotif Indonesia masih resilien, didorong oleh masuknya investasi dari pabrikan mobil listrik (electric vehicle/EV), seperti BYD, VinFast, hingga Geely.
"Sehingga investasi kita dalam beberapa tahun terakhir mencapai angka Rp150 triliun untuk otomotif. Jadi kalau ditanya masa depan seperti apa? Masih bagus, cuma akan sedikit melambat," pungkas Nangoi.
Ekspor Kendaraan Berisiko Terganggu
Dari sudut pandang pelaku usaha, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) buka suara soal potensi dampak perang antara Iran dan Israel yang dapat memengaruhi kinerja ekspor perseroan.
Pasalnya, Toyota mengekspor sejumlah mobil ke negara-negara Timur Tengah seperti Irak, Lebanon, Uni Emirat Aran (UEA), Arab Saudi, Qatar hingga Kuwait, yang secara geografis berdekatan dengan Iran maupun Israel.
Wakil Presiden Direktur TMMIN Bob Azam mengatakan, meskipun sejauh ini belum terlihat dampaknya, perseroan perlu mengantisipasi dampak dari eskalasi konflik antara Iran dan Israel tersebut.
"Sampai saat ini belum ada dampaknya. Namun, kita harus antisipasi segala kemungkinan adanya eskalasi di Timur Tengah," ujar Bob kepada Bisnis, dikutip Minggu (22/6/2025).
Ketegangan konflik di Timur Tengah antara Iran dengan Israel berisiko menimbulkan dampak terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali industri otomotif. Terlebih, beberapa pabrikan mobil di Indonesia juga banyak yang mengekspor kendaraan ke negara-negara Timur Tengah sehingga jalur logistik dan rantai pasok berpotensi terganggu.
Adapun, sepanjang Januari-Mei 2025, Toyota telah mengekspor kendaraan ke berbagai negara sebanyak 66.543 unit, atau naik tipis 1,3% secara yoy dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Di lain sisi, kinerja penjualan mobil domestik masih melemah sepanjang tahun berjalan. Alhasil, pasar ekspor menjadi andalan bagi sebagian pabrikan, termasuk Toyota.
"Apalagi sejalan dengan melemahnya pasar dalam negeri, ekspor menjadi andalan," pungkas Bob.
Perkuat Rantai Pasok
Pakar Otomotif dan Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, ketegangan geopolitik tersebut, walau tidak langsung, dapat memicu kenaikan harga minyak dunia yang pada akhirnya meningkatkan biaya logistik dan produksi.
"Selain itu, dapat memperlambat distribusi komponen otomotif berbasis petrokimia atau logistik internasional lainnya, serta berpotensi mengganggu stabilitas rantai pasok global, termasuk untuk produk semi-konduktor dan komponen kendaraan," ujar Yannes kepada Bisnis.
Menurutnya, pemerintah dan pelaku industri perlu berkolaborasi untuk mengambil langkah-langkah strategis guna mengantisipasi kemungkinan dampak tersebut.
"Dari sisi pemerintah, ini jadi momentum untuk memperkuat ketahanan rantai pasok nasional dengan mendorong substitusi impor, penguatan kandungan lokal dan hilirisasi industri otomotif kita. Serta menjalin kerja sama dagang alternatif di luar kawasan berisiko tinggi tersebut," tuturnya.
Dari sisi lemahnya pasar otomotif domestik, menurut Yannes, kenaikan biaya hidup saat ini mengalihkan konsentrasi belanja kelas menengah ke kebutuhan lain yang lebih penting, sehingga penjualan mobil lesu.
"Tanpa adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi makro, proyeksi pasar otomotif Indonesia hingga akhir 2025 cenderung moderat bahkan stagnan," pungkas Yannes.