Bisnis.com, JAKARTA- Polusi udara di Jakarta dan sekitarnya sudah pada taraf mengkhawatirkan serta mengancam kesehatan, sektor transportasi yang di dalamnya terdapat kendaraan bermotor kerapkali dijadikan biang kerok. Benarkah demikian?
Banyak pihak menyudutkan industri otomotif, terutama populasi mobil dan motor yang kian banyak sebagai pangkal masalah polusi udara di Ibu Kota. Apalagi, jika menengok kondisi saat pandemi melanda, ketika mobilitas masyarakat ditekan, kualitas udara Jakarta dan sekitarnya seakan pulih.
Kini, sewaktu Covid-19 dinyatakan hanya sebagai endemi, sehingga mobilitas serta penggunaan kendaraan bermotor kembali normal, perlahan kualitas udara memburuk. Tak pelak, keberadaan mobil dan motor yang semakin menumpuk di jalanan jadi sasaran empuk predikat tersangka.
Salah satu respon mengejutkan, untuk menormalkan kualitas udara, bahkan pemerintah kembali menerapkan bekerja dari rumah atau work from home/WFH. Kebijakan ini khusus bagi sebagian aparatur sipil negara alias PNS.
Sayangnya meski WFH sudah diterapkan mulai hari ini, Senin (21/8/2023) kualitas udara di DKI masih di level yang mengkhawatirkan.
Melihat dari aplikasi pemantau kualitas udara bernama Nafas Indonesia pada Senin (21/8), tingkat polusi udara masih berada di angka 130 atau tergolong 'tidak sehat untuk kelompok sensitif' dengan tingkat polutan PM 2.5 sekitar 48 kali lebih tinggi di ambang batas yang ditetapkan WHO.
Baca Juga
Kemudian berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara Maksimum, sejumlah wilayah di DKI Jakarta menunjukkan hasil yang tidak sehat dengan angka partikel halus atau PM2.5 di angka 80-100.
Berbicara populasi kendaraan bermotor, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, untuk Provinsi DKI Jakarta saja, volume itu telah mencapai 26,37 juta unit pada tahun lalu. Sepeda motor mendominasi dengan jumlah 17,3 juta unit, disusul mobil penumpang sebanyak 3,7 juta unit, truk sekitar 748 ribu, dan bus 37.180 unit.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) Kukuh Kumara menilai sektor otomotif khususnya roda empat memang rentan dipersalahkan atas polusi udara. “Karena itu gampang terlihat, mudah disalahkan. Tapi untuk menentukan penyebab polusi sebenarnya, tidak semudah itu,” ungkap Kukuh kepada Bisnis, Senin (21/8/2023).
Dia menilai polusi udara yang semakin parah belakangan ini harus ditinjau secara menyeluruh. Sektor otomotif merupakan pihak hilir dari persoalan polusi udara tersebut.
Lebih jauh, Kukuh mengingatkan penggunaan produk otomotif sebagai mobilitas ini erat kaitannya dengan aktivitas perekonomian. “Jadi kalau dipersalahkan secara serampangan, ini bakal memunculkan persoalan lebih serius, mulai dari aktivitas perekonomian yang tertahan, hingga mengancam perkembangan industri serta investasi,” ungkapnya.
Sebaliknya, Kukuh menjelaskan semakin ke sini, teknologi otomotif terutama sektor roda empat semakin rendah emisi. Mulai dari teknologi ICE (internal combustion engine) yang semakin hemat bahan bakar, hingga munculnya produk berteknologi hybrid hingga elektrik yang kian diserap pasar.
“Bahkan kini sudah ada etanol, menyusul kehadiran biodiesel,” ungkapnya.
Dari sisi teknologi produk otomotif, Kukuh menilai hampir seluruh mobil telah kompatibel dengan standardisasi emisi Euro 4, bahkan bisa dinaikkan hingga Euro 6. “Sejak 2018, mesin bensin Euro 4 acuannya, jadi minimal bahan bakar RON 92. Jika mau dinaikkan, masih bisa, emisinya semakin rendah,” kata Kukuh.
Hanya saja, sejauh ini penerapan standardisasi Euro 4 hingga Euro 6 kelak berbenturan dengan ketersediaan bahan bakar. Terlebih lagi, penerapan standardisasi itu juga berkaitan dengan perilaku pengguna kendaraan di Indonesia.
“Secara keseluruhan teknologi mobil di sini sudah kompatibel dengan Euro 4 bahkan Euro 6, karena kan kita mengekspor juga ke negara dengan standardisasi emisi yang tinggi. Persoalannya, penerapan di dalam negeri yang masih agak susah, mulai dari pasokan bahan bakar sesuai RON tinggi, serta perilaku konsumen di sini,” simpul Kukuh.
Terkait standardisasi bahan bakar ini, Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengungkapkan hal senada. Dia membandingkan kondisi kepadatan kendaraan di Bangkok, Thailand dan Jakarta hampir setara.
“Hanya saja, di sana sudah Euro 5 dan menuju Euro 6, sehingga polusi tidak parah,” kata Bob beberapa waktu lalu.
Lebih jauh, dia menekankan untuk kemajuan teknologi otomotif khususnya roda empat, setiap pabrikan bahkan telah memproduksi mobil dengan standar Euro 5 hingga 6. “Justru kalau standardisasi Euro di sini dinaikkan, ini kami bakal lebih efisien. Tidak ada problem,” tutupnya.