Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mobil Listrik di RI, Terganjal Harga hingga Infrastruktur

Mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional lantaran komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal.
Supir taksi online melakukan pengisian daya mobil listrik di Jakarta, Kamis (13/2/2020). /Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Supir taksi online melakukan pengisian daya mobil listrik di Jakarta, Kamis (13/2/2020). /Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan harga mobil listrik menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan kendaraan ramah lingkungan di Tanah Air.

Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi menuturkan mobil yang paling laku di Tanah Air berada di rentang harga Rp250 juta sampai dengan Rp300 juta. Oleh sebab itu, mobil seperti Avanza, Xenia, dan Ayla memiliki porsi terbesar di Indonesia.

“Kalau [mobil listrik] ingin berkembang di Indonesia, kita harus menekan harga mobil listrik di bawah Rp300 juta agar daya beli masyarakat dapat menjangkau,” ujarnya dalam webinar Investor Daily Summit, Kamis (14/7/2021).

Mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional lantaran komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal. Adapun, harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.

Persoalan lain adalah jarak tempuh mobil listrik masih terbatas karena kapasitas baterai mobil listrik terbatas. Ini berbeda jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak yang memiliki jarak tempuh panjang karena dukungan ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar.

Gaikindo mencatat bahwa realisasi total penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang semester pertama 2021 mencapai 1.900 unit. Jumlah ini terdiri atas model hybrid, plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), dan mobil listrik baterai (BEV).

Rinciannya, mobil hybrid terjual 1.378 unit, PHEV 34 unit, dan BEV menyumbang 488 unit. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan realisasi tahun lalu, di mana hybrid membukukan 1.108 unit penjualan, PHEV 6 unit, dan BEV  120 unit.

Sementara itu, penjualan mobil listrik di Indonesia pada semester I/2021 juga meningkat jauh dibandingkan tahun 2019. Gaikindo mencatat bahwa pada periode tersebut, mobil hybrid terjual 685 unit, PHEV 20 unit, dan BEV nol penjualan.

Meski mengalami pertumbuhan positif, Nangoi menyatakan bahwa realisasi tersebut masih terpaut jauh dari potensi pasar yang dimiliki oleh Indonesia. Sebab, rasio kepemilikan mobil di Indonesia baru menyentuh 99 per 1.000 penduduk.

“Ini angka yang cukup rendah, dan kita masih punya potensi yang luar biasa untuk maju. Di Thailand sudah 275 per 1.000, bahkan Malaysia 490 per 1.000 penduduk,” kata Nangoi.

Kendati masih menantang, pabrikan tetap melihat Indonesia sebagai pasar potensial mobil listrik. PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI) memastikan produksi mobil listrik di pabrik Cikarang, Jawa Barat akan berjalan mulai tahun depan. 

"Mobil-mobil baru itu akan dipasarkan Maret tahun depan dan merupakan completely knock down," katanya dalam Investor Daily Summit 2021, Rabu (14/7/2021).

Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), selaku produsen produk Toyota di Indonesia berkomitmen memproduksi kendaraan hibrida secara lokal mulai tahun 2022. Langkah ini bertujuan memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.  

Sikap berbeda justru ditunjukkan PT Honda Prospect Motor (HPM), yang tidak mau terburu-buru memboyong line-up mobil listrik ke Indonesia. Honda sejauh ini masih melakukan studi dan riset kondisi pasar terkait kebutuhan kendaraan listrik.

Khusus pengembangan mobil listrik, Chief Operating Officer Hyundai Motor Asia Pacific Lee Kang Hyun menyebut pemerintah Indonesia belum memberikan insentif untuk mendorong produksi mobil ini lebih banyak lagi. Hal itu seperti yang sudah terjadi di banyak negara lain.

Dari sisi keringanan pajak pembelian, Kang Hyun mengapreasiasi adanya Peraturan Pemerintah No 74/2021 tentang tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0 persen untuk mobil listrik.

"Sehingga nantinya mobil listrik akan memiliki harga jual lebih murah dibandingkan harga jual mobil bermesin konvensional. Lalu tahap kedua nanti pemerintah juga berencana menambah tarif PPnBM mobil bermesin konvensional sehingga ke depan harga jual mobil konvensional akan lebih mahal dibandingkan mobil listrik," ujarnya.

Selaras dengan hal itu, Kang Hyun menilai komponen pajak Beabalik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang 0 persen sebaiknya bersifat nasional, karena saat ini baru di Jakarta yang menerapkan BBNKB 0 persen untuk pembelian mobil listrik.

Selain itu, tentunya terkait pembangunan stasiun pengisian daya yang masih sedikit saat ini. Menurut Kang Hyun pemerintah sebaiknya mewajibkan pembangunan stasiun pengisian daya terutama pada gedung perkantoran dan apartemen baru seperti di banyak negara lain.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut bahwa pemerintah akan mempercepat popularisasi penggunaan electric vehicle (EV) atau kendaraan listrik dengan menetapkan peraturan tentang roadmap pembelian EV di instansi pemerintahan.

Menurut Agus, dalam roadmap yang dirancang hingga 2030 tersebut diperkirakan pembelian kendaraan listrik untuk roda 4 akan mencapai 132.983 unit, sedangkan kendaraan listrik roda 2 diproyeksikan sebanyak 398.530 unit. “Selain penggunaan oleh instansi pemerintah, pemerintah juga mendorong industrialisasi EV dengan memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen EV,” katanya.

Dari sisi pasar, Agus mengatakan, permintaan untuk EV secara global di dunia diperkirakan terus meningkat dan mencapai sekitar 55 juta unit pada 2040. Pertumbuhan ini mengarah pada peningkatan kebutuhan lithium ion battery (LIB) yang diperkirakan pada 2030 akan ada kapasitas lebih dari 500 GWh.

Meningkatnya penggunaan baterai juga mendorong peningkatan bahan bakunya, seperti nikel, kobalt, litium, dan mangan. “Dalam posisi tertentu, pemilik sumber bahan baku baterai ini nantinya akan memegang peranan yang sangat penting,” ujar Agus.

Saat ini sendiri ada sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai, yakni lima perusahaan penyedia bahan baku baterai terdiri dari nikel murni, kobalt murni, ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lainnya, serta empat perusahaan adalah produsen baterai. Dengan begitu, Indonesia mampu mendukung rantai pasok baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper