Nyaris tidak ada keraguan terhadap pilihan kendaraan bertenaga listrik sebagai sarana transportasi masa kini dan masa depan. Lalu kenapa keberadaannya di Indonesia masih saja seperti barang mewah dan masih langka?
“Investasi di mobil listrik atau kalah!”
Kalimat itu meluncur dari mulut Peter Altmaier, Menteri Ekonomi Jerman—sebuah negara yang menjadi markas banyak pabrikan otomotif terkemuka. Altmaier mengatakan kepada surat kabar Bild,yang terbit Senin (16/4/2018), bahwa pembuat mobil perlu menginvestasikan “dua digit miliar ”.
Tentu kesadaran tersebut tidak hanya milik Jerman. Presiden Joko Widodo, saat bertemu dengan puluhan pemimpin redaksi media massa nasional, di Istana Negara Jakarta, Senin (30/10/2017), mengingatkan penggunakaan kendaraan listrik harus dimulai.
“Masa depan [industri otomotif] ada di situ. Apakah infrastrukturnya sudah siap? Mari diberi ruang untuk mulai. Masih ada transisi yang panjang,” ujar Jokowi. Sesuai dengan Peta Jalan Industri, produksi mobil listrik Indonesia ditargetkan 150.000 (10%) pada 2022, meningkat menjadi 1,2 juta (40%) pada 2035.
Faisal Basri, ekonom senior Institut for Development Economic and Finance (Indef), mengingatkan bahwa saat ini adalah momentum yang tepat untuk pengembangan mobil listrik. Saat ini, cadangan minyak menipis, impor meningkat, dan harga minyak meninggi membuat devisa terkuras.
Baca Juga
Sementara itu tren kendaraan yang rendah emisi atau ramah lingkungan makin kuat, penjualan mobil listrik dunia bertumbuh makin kencang, dan inovasi teknologi di bidang ini juga makin cepat. Harga mobil listrik makin mendekati kendaraan konvensional.
"Momentumnya bagus, karena sumber kerusakan ekonomi kita adalah BBM," ujar Faisal pada acara diskusi terbatas bertema Road Map Pengembangan Kendaraan Listrik, Selasa (10/07/2018).
Dari sisi harga, pada 2024 mobil listrik tanpa subsidi diperkirakan akan bersaing dengan mobil konvensional. Dan, pada 2029 harga mobil listrik akan kompetitif dengan mobil konvensional dalam satu segmen. Dia mengatakan bahwa pada 2040 diperkirakan 54% penjualan mobil baru adalah mobil listrik.
Tantangan Mobil Listrik
Harus diakui bahwa pengembangan kendaraan berbasis tenaga listrik masih menghadapi sejumlah tantangan.
Pertama, harga mobil listrik masih relatif mahal.
Selisih harganya dengan mobil internal combustion engine masih sangat njomplang. Seperti contoh, harga Nissan X-Trail Hybrid lebih mahal Rp218 juta (33%) dibandingkan versi mesin pembakaran dalam. Inilah salah satu tantangannya.
Kedua, infrastruktur stasium pengisian listrik umum (SPLU) relatif belum memadai.
Apabila soal harga tak menjadi masalah bagi sebagian orang, mereka masih akan dihadapkan pada masalah ketiadaan SPLU. Sejauh ini belum ada yang membangun SPLU, kecuali untuk sepeda motor di Jabodetabek. Namun, itu pun bertegangan rendah.
Ketiga, sistem charging masih relatif butuh waktu lama.
Waktu pengisian daya tergantung pada kapasitas baterai dan daya pengisian. Ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Pengisian Waktu [h] = Kapasitas Baterai [kWh] / Daya Pengisian [kW]. Mengisi baterai mobil dengan colokan listrik standar bisa memakan waktu berjam-jam.
Keempat, belum ada aturan (regulasi) untuk limbah baterai lithium.
Baterai bekas adalah limbah yang sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang sembarangan. Baterai mengandung berbagai macam logam berat seperti merkuri, mangan, timbal, nikel, lithium dan kadmium. Pemerintah belum menemukan solusi yang tepat untuk hal itu.
Tak hanya Indonesia yang masih kebingungan untuk pengolahan limbah baterai. Beberapa negara seperti China dan Jepang juga belum menemukan solusinya. Negara yang menemukan pengolahan limbah baterai adalah Belgia. Bahkan, Jepang pun memilih mendaur ulang limbah baterainya di Belgia.
Kelima, pemerintah membutuhkan environment impact analysis secara menyeluruh.
Baru-baru ini, pemerintah menfasilitas riset kendaraan listrik yang dilakukan oleh tujuh perguruan tinggi dengan Toyota Manufacturing Motor Indonesia (TMMIN), yakni UNS, UGM, ITS, ITB, dan UI. Poin-poin itu antara lain tentang user convenience study, technical characteristic study, overall environment study, industry, social impact study, dan policy and regulation study.
Keenam, perlu waktu edukasi.
Saat ini masih perlu awareness masyarakat untuk sampai mereka memutuskan membeli kendaraan. Menempatkan konsumen menjadi agen perubahan dalam posisinya sebagai subjek penentu kegiatan ekonomi Indonesia serta menguatkan kesadaran konsumen akan pentingnya hak dan kewajibannya.
Ketujuh, industri membutuhkan waktu peralihan (shifting industry) 2--3 tahun.
Peluncuran kendaraan bebas emisi memang menciptakan beberapa pekerjaan baru di bidang elektronik kendaraan dan baterai, tetapi mobil listrik akan menghasilkan lebih sedikit pekerjaan bagi aktivitas perakitan. Peralihan ke mobil listrik membuat 75.000 pekerjaan manufaktur mesin dan gearbox dalam risiko
Kedelapan, ketergantungan bahan baku impor untuk baterai masih tinggi.
Komponen utama mobil listrik ada tiga yakni baterai, motor listrik, dan unit kontrol daya. Baterai adalah bagian mahal. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki lithium untuk bahan baku baterai. Hanya ada beberapa negara penghasil, seperti Argentina, Chile, Bolivia, dan Amerika. Indonesia perlu menemukan teknologi baru untuk buat baterai. **