Bisnis.com, JAKARTA - Dalam satu dekade terakhir, tren kendaraan bermotor bergerak makin kencang ke arah mobilitas ramah lingkungan dan cerdas (smart and e-mobility). Indonesia pun telah jauh-jauh hari mengantisipasi perubahan global ini. Salah satunya ialah menetapkan Peta Jalan Industri Otomotif Indonesia.
Peta jalan ini adalah amanat PP No 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, sekaligus menindak-lanjuti komitmen COP21, yang mana pemerintah akan mengurangi 29% emisi gas rumah kaca pada 2030.
Berdasarkan road map tersebut, pemerintah telah menggariskan program yang dikenal sebagai Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Program ini dibagi menjadi dua tahap, yakni Tahap I (2013-2017), dan Tahap II (2017-2035).
Artinya, pemerintah telah memulai program tahap pertama lebih cepat 2 tahun sebelum road map itu ditetapkan. Program tahap pertama ini dikenal dengan nama Kendaraan Bermotor Hemat Bahan Bakar dan Harga Terjangkau (KB2H).
Pada tahun pertama, program ini telah melahirkan Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, dan Suzuki Wagon R. Pasar menyambut meriah pada tahun kedua sehingga mobil-mobil tersebut meraup penjualan lebih dari tiga kali lipat. Di tahun ini pula, Datsun Go masuk ke segmen pasar KBH2.
Hanya setelah itu laju penjualan mobil mungil ini melambat, dan pasar seperti bergairah lagi ketika terlahir model kembar Toyota Calya serta Daihatsu Sigra. Berbeda dengan model sebelumnya, Calya serta Sigra mengusung kapasitas kursi 7-penumpang.
Baca Juga
Toyota dan Daihatsu tampaknya memahami betul konsumen Indonesia yang suka dengan mobil kapasitas keluarga. Calya dan Sigra bukanlah LCGC dengan 3-baris kursi pertama, karena ada Datsun Go+ sebelumnya. Namun, Calya menawarkan dimensi dan ruang kabin lebih besar.
Berkat LCGC pula pasar otomotif bertumbuh. Tentu, ini bukan satu-satunya sasaran. Ibarat sekali mendayung banyak pulau terlampaui. LCGC mengusung beberapa misi, yakni peningkatan konten lokal, daya saing industri, membuka akses ekspor, serta yang utama menghadirkan produk yang hemat energi dan ramah lingkungan.
LCGC adalah tahap awal menghadirkan mobil yang bukan sekadar alat transportasi (mobility). Fase kedua menghadirkan low carbon emission vehicle akan diperkuat pada tahap kedua. Bahkan, pada fase ini, kelahiran mobil tanpa emisi karbon emisi karbon telah digariskan.
Setidaknya, sejak setahun terakhir pemerintah telah getol mendorong industri dan lembaga riset untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi kendaraan berbahan bakar alternatif, seperti bahan bakar gas, dan listrik, setelah sebelumnya mendorong biodiesel dan bioethanol.
Tampaknya setrum mobil bertenaga listrik menjadi wacana paling menyengat perhatian. Selain tawaran niremisi, mobil bertenaga listrik menjadi tren global. Beberapa pabrikan yang sebelumnya lebih mengedepankan fuel cell, belakangan juga berpaling ke teknologi mobil listrik.
Nyatanya, penjualan kendaraan listrik di pasar global bertumbuh sangat kuat. Para pabrikan pun melakukan percepatan strategi untuk menangkap momentum e-mobility. Alhasil, teknologi mobil listrik berkembang cepat, dan makin banyak varian produk yang dilahirkan dengan teknologi ini.
Sejumlah merek pun telah membawa produknya ke Indonesia, seperti BMW i3 Lifestyle, BMW i8 PHEV, Mercedes-Benz E 350 PHEV, Mercedes-Benz C 350 PHEV, Nissan Note e-Power, Nissan X-Trail Hybrid, Toyota Prius, Toyota Camry Hybrid, Mitsubishi Outlander PHEV, Mitsubishi i-MIEV.
Beberapa pabrikan turun langsung memberi dukungan riset dan pengembangan mobil listrik, seperti Mitsubishi dan Toyota. Pemerintah memastikan bahwa kebijakan kendaraan listrik diarahkan agar industri yang ada tidak terganggu karena investasinya besar dan menyerap banyak tenaga kerja, pendalaman struktur dan lokalisasi bertahap, dan berbasis insentif bukan pembatasan.
Keberpihakan kepada industri diwujudkan dengan memberi semaksimal mungkin fasilitas berupa insentif fiskal, nonfiskal, dan kemudahan lainnya. Pemberian tax holiday dan tax allowance bagi investasi baru maupun perluasan khusus bagi industri yang memproduksi komponen atau merakit kendaraan rendah karbon.
Selain itu, pemerintah akan memberikan insentif kepada periset lokal, laboratorium uji, dan lembaga R&D; menetapkan perhitungan TKDN dengan penekanan bobot pada faktor brainware, seperti untuk R&D; menetapkan kompetensi lokal yang akan dikembangkan, seperti baterai, PCU, motor, dan sistem pengisian baterai; serta mendorong insentif berdasarkan CO2.
Demi mendorong era baru mobilitas itu pula, kini sejumlah regulasi tengah rancang ulang, seperti skema bea masuk dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), yang mana kendaraan rendah karbon dan niremisi diberi privilege berupa tarif rendah hingga 0%.
Dengan demikian, harga mobil bertenaga listrik—yang saat ini masih relatif mahal dibandingkan dengan kendaraan konvensional—menjadi lebih terjangkau, dan terbentuknya pasar pada gilirannya akan mendorong pabrikan untuk membangun industri di dalam negeri.
Pemerintah menargetkan produksi kendaraan listrik sudah mulai dilakukan pada 2022 secara bertahap mulai dari perakitan completely knock down (CKD), incompletely knock down (IKD), dan part by part. Mobil listrik itu mencakup tipe hibrida, plug-in-hybrid, baterai, dan fuel cell.
Sejauh ini, tidak sedikit pabrikan yang telah menyatakan komitmennya untuk melakukan perakitan mobil listriknya di Indonesia, mulai dari Toyota, Mitsubishi, BMW, hingga Mercedes. Siapa akan menjadi yang pertama?