Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ogah Jualan Cangkang, Gaikindo Wanti-wanti Dibangun Industri Baterai

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mewanti-wanti agar program pengembangan kendaraan listrik tidak membuat rusak industri dalam negeri dan lebih banyak menjadi pengimpor. Oleh karena itu, perlu diriset dan dikembangkan industri baterai terlebih dulu.
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Roadmap Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, di kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa (10/7/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Roadmap Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, di kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa (10/7/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mewanti-wanti agar program pengembangan kendaraan listrik tidak membuat rusak industri dalam negeri dan lebih banyak menjadi pengimpor. Oleh karena itu, perlu diriset dan dikembangkan industri baterai terlebih dulu.

Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengatakan bahwa pihaknya setuju dengan program pengembangan kendaraan listrik. Namun, harus dilakukan secara hati-hati dan cermat.

"Jangan sampai kita kembangkan industri kendaraan listrik tetapi baterainya impor, motor listriknya impor, kita hanya buat cangkangnya saja," ujar Nangoi pada acara diskusi terbatas "Road Map Pengembangan Industri Kendaraan Listrik di Indonesia," Selasa (10/7/2018).

Oleh karena itu, lanjutnya, Indonesia perlu memiliki industri komponen utama kendaraan listrik, terutama baterainya. Dua komponen penting lainnya dalam sistem penggerak mobil ini adalah motor listrik dan unit kontrol daya.

Dalam hal pengembangan baterai, Nangoi mengkritik sejumlah lembaga yang melakukan riset baterai lithium-ion. Menurutnya, perkembangan teknologi baterai sangat cepat, dan lithium-ion itu sudah banyak diriset dan dikembangkan oleh perusahaan besar di luar negeri.

"Kalau kita melakukan riset lithium-ion yaa, akan tertinggal," ujarnya. Selain itu, katanya, lithium-ion itu lebih cocok untuk daerah subtropis dan kurang optimal apabila digunakan di daerah tropis seperti Indonesia.

Selain perkembangan teknologinya meningkat sangat cepat, katanya, biaya riset lithium juga besar sekali. Sebagai gambaran, General Motor investasi US$4,5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.

Di samping itu, cadangan lithium itu hanya terdapat di beberapa negara saja, yakni Bolivia, Chili, dan Argentina. "Amerika ada, Indonesia tidak punya," kata Nangoi.

Oleh karena itu, Nangio berpendapat riset dan pengembangan baterai di Indonesia diarahkan pada baterai dengan bahan baku yang tersedia di Indonesia, seperti nikel dan kobalt.

Baru-baru ini Toyota Motor Corp (TMC) telah mengumumkan teknologi cobalt-nya untuk mengatasi teknologi baterai lithium-ion yang mudah menguap dan panas. Solusi itu membuat baterai mobil listrik aman digunakan, punya lebih banyak power, serta tanpa biaya tambahan.

Sementara itu, Panasonic Corp diketahui tengah berupaya mengamankan pasokan kobalt, sebagai satu bahan baku utama baterai, untuk mengamankan produksinya. Perusahaan ini memiliki rencana untuk menggunakan 10.000 ton pada 2019—2020 dan hingga 25.000 ton per tahun pada awal 2020-an, demikian mengutip Reuters, Senin (25/6).

Saat ini Panasonic adalah pemasok tunggal sel baterai untuk seluruh kendaraan Tesla, termasuk mobil listrik Model 3. Tesla Motors dan Nissan Motor Co sudah mengadopsi teknologi baterai lithium-ion selama hampir 1 dekade.

Kobalt adalah senyawa yang dapat menstabilkan dan memperpanjang umur baterai isi ulang lithium-ion. Bahan baku ini telah mengalami kenaikan harga menjadi sekitar US$40 per 0,45 kg, dari sebelumnya di bawah US$10 pada Desember 2015.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan Indonesia berpotensi menjadi basis pengembangan baterai mobil listrik lantaran di sejumlah lokasi tersimpan sumber daya alam untuk pembuatan baterai, seperti nikel kobalt.

Salah satu lokasi penghasil nikel adalah Morowali, Sulawesi Tengah. "Kalau China mengembangkan lithium ion kemudian Jepang mengembangkan fuel cell, kalau Indonesia punya nikel kobalt. Jadi tentu kami sampaikan kalau nikel dan kobalt itu harus dikembangkan, jika itu dilakukan maka kita punya teknologi baterai yang kompetitif," ucap Airlangga.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper