Bisnis.com, JAKARTA - Kehadiran mobil low cost and green car (LCGC) dinilai semakin membebani tingkat konsumsi bahan bakar bersubsidi.
Wakil Ketua bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengoreksi asumsi Kemenperin terkait beredarnya LCGC tidak mempengaruhi signifikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
"Adanya LCGC berarti terdapat penambahan jumlah mobil yang menggunakan BBM, meski dikatakan populasinya kecil, tetap saja mengkonsumsinya terus-menerus".
Menurutnya, besar kecilnya populasi produk LCGC bukan merupakan ukuran tepat-tidaknya program tersebut bagi misi penghematan energi.
"Adanya LCGC berarti terdapat penambahan jumlah mobil yang menggunakan BBM, meski dikatakan populasinya kecil, tetap saja mengkonsumsinya terus menerus. Coba lihat saat mudik kemarin banyak yang menggunakan mobil, sehingga konsumsi BBM juga meningkat," ujarnya kepada Bisnis.com, Jumat (12/9).
Sebagai catatan LCGC dihadirkan industri otomotif sebagai solusi kendaraan murah berbahan bakar hemat. Kendaraan ini diwajibkan menggunakan bahan bakar RON 92 atau nonsubsidi.
Kendaraan ini diharapkan menangkal gempuran kendaraan impor sejenis yang diprediksi akan membanjiri pasar otomotif kawasan Asia Tenggara pada saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan.
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin (IUBTT), Budi Darmadi mengatakan program LCGC tidak dapat dijadikan kambing hitam borosnya konsumsi BBM bersubsidi.
Dia menilai, LCGC hanya memiliki populasi yang minim dari keseluruhan jumlah kendaraan beredar.
Saat ini, populasi total mobil yang beredar di jalan sekitar 10.000.000 unit. Sedangkan populasi mobil LCGC yang beredar sekitar 200.000 unit, setara 2% dari total populasi mobil yang beredar.
"Sehingga populasi mobil yang bukan LCGC adalah 98%, logikanya mobil yang paling banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi adalah mobil non LCGC," ujarnya.