Bisnis.com, JAKARTA--Pada 9 September 2013, jam 9.00 pagi. Sudirman MR, presiden direktur PT Astra Daihatsu Motor, bergegas memasuki ballroom Hotel Kempinski, Jakarta. Wajahnya tampak sumringah. Maklum, setelah menunggu setahun, pagi itu akhirnya mobil murah Astra Daihatsu Ayla resmi diluncurkan ke pasar.
Toh, tak banyak lagi komentar mengenai Ayla yang disampaikannya saat pidato peluncuran kendaraan LCGC (low cost and green car) tersebut.
Dia hanya mengingatkan bahwa peluncuran city car itu merupakan milestone ke-4 bagi Daihatsu di Indonesia sepanjang tahun ini. Yang pertama adalah dimulainya pengoperasian pabrik baru di Karawang, lalu peresmian pusat Riset dan Pengembangan Daihatsu di Indonesia, serta pencapaian produksi 3 juta unit.
Jam 12 siang, prosesi media launching itu pun usai. 1 Jam kemudian, giliran Toyota yang memperkenalkan kepada media kembaran Ayla, yaitu Astra Toyota Agya, di parkir timur Senayan, Jakarta Selatan.
2 Hari berselang, Honda pun merilis LCGC besutannya, Honda Brio Satya. Pabrikan ini bergerak cepat menerjemahkan juklak aturan mobil murah dan ramah lingkungan dengan mengecilkan kapasitas mesin Brio dari sebelumnya 1.300 cc menjadi 1.200 cc, lalu menggenjot kandungan lokal menjadi 85%, sebagaimana yang disyaratkan pemerintah.
Hasilnya, versi LCGC Brio ini pun dapa dilepas ke pasar dengan harga mulai Rp106 juta per unit. Di antara kedua kompetitornya yang sudah lebih dulu meluncur, Brio Satya memang mengusung mesin yang paling besar. Ayla dan Agya menggunakan mesin berkapasitas 1.000 cc.
Jika melihat penawaran harga terendah dan volume mesinnya, bolehlah Honda memposisikan Brio Satya sebagai premium LCGC. Sementara Daihatsu yang membanderol Ayla mulai harga Rp76 juta, bisa pula mengklaim kendaraan andalannya sebagai ‘the real LCGC’.
Bagaimana dengan Toyota? Dengan harga perdana mulai Rp99,9 juta, Agya praktis memang bermain di antara kedua kompetitornya itu. Tetapi, dengan modal kekuatan merek dan jaringan purna jual yang paling luas, Toyota tentu sangat pede bermain di segmen ini.
Persaingan pasti tak akan berhenti di sini. Pekan ini, Nissan juga akan resmi masuk ke pasar LCGC dengan meluncurkan merek Datsun ke pasar.
Biarlah para pabrikan ini berkompetisi, mendorong R&D, menggenjot kandungan lokal, meramu strategi pemasaran dan menawarkan paket harga semenarik mungkin. Toh, seperti biasa, pada akhirnya konsumen juga yang harusnya diuntungkan karena mempunyai semakin banyak pilihan.
SEGMEN PASAR
Diluar masalah kompetisi, sebetulnya ada isu lain yang tak kalah menarik untuk dicermati: Kemana pasar akan bergerak?
Ketiga ATPM sejauh ini mengklaim akan menyasar segmen pembeli perdana (entry level) sebagai target pasar utama dari Ayla, Agya, maupun Satya.
Namun, jika melihat trend yang sudah-sudah, umumnya pembeli mobil yang diluncurkan pertama kali justru konsumen kelas menengah ke atas. Sementara pembeli pertama yang bujetnya memang terbatas justru masih harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan untuk membeli.
“Trendnya selama ini memang seperti itu. Tetapi untuk Ayla, kami masih menunggu perkembangan karena saat ini kami sedang mem-follow up daftar calon pembeli yang sudah mengantri sejak tahun lalu,” ujar Hendrayadi Lastiyoso, marketing division head PT Astra International Tbk – Daihatsu Head Office, akhir pekan lalu.
Sebagian kalangan menduga segmen LCGC ini akan menarik sebagian pasar sepeda motor. Namun, jika melihat selisih harga yang masih terlalu jauh (harga sepeda motor masih berkisar Rp10 juta s/d Rp30 juta per unit, kecuali beberapa tipe sport yang mencapai Rp45 juta per unit), segmen ini tampaknya masih sulit diharapkan.
Yang masuk akal untuk disasar tentu adalah pemilik mobil seken. Segmen inilah yang paling bisa diharapkan menukar tambah mobil lamanya dengan LCGC supaya tidak repot-repot memikirkan perawatan kendaraan. Tentu tidak semua pemilik mobil seken juga yang mau mengganti mobilnya dengan LCGC, terutama untuk yang tak mau beralih dari sedan, MPV, atau SUV.
Sebetulnya ada segmen lain yang sangat menjanjikan untuk digarap, apalagi kalau bukan pasar daerah. Daya beli masyarakat di daerah sebetulnya tak kalah dengan di Jakarta. Tentu ini butuh keberanian ATPM untuk tak lagi mengandalkan pasar Ibu Kota.
“Saya kira Ayla memang bisa menjadi ‘mainan baru’ bagi tim sales force kami supaya bisa menjangkau segmen baru,” ujar Hendrayadi.
Secara terpisah, Wendy Miharja, General Manager Honda Surabaya Center – diler utama Honda untuk wilayah Jatim, Bali, dan Nusa Tenggara, juga optimistis kehadiran Satya akan dapat mendorong penetrasi pabrikan itu sampai ke tingkat kabupaten.
Jadi, tunggu apa lagi? Sudah saatnya ATPM berpikir ke depan dengan tak lagi mengandalkan pasar Jakarta yang hingga kini masih menyumbangkan 40% terhadap total pasar. Kalau ini bisa dilakukan, tentu otomotif akan dapat mendorong desentralisasi ekonomi. Yang terpenting, dengan penyebaran populasi yang lebih merata, sebagian problem kemacetan Ibu Kota akan terurai dan PAD di daerah dapat tumbuh lebih pesat. Berani?