Bisnis.com, JAKARTA — Produsen mobil listrik asal China, Nio berencana untuk mengapalkan model-model yang diproduksi dari China ke pasar Amerika Serikat (AS) pada 2025.
Dilansir dari Nikkei Asia pada Senin (5/11/2023), CEO Nio untuk AS Ganesh Iyer dalam konferensi NexChina mengatakan Nio berencana menjual mobil pertamanya di pasar AS pada 2025 sebagai bagian dari tujuan ekspansi ke 25 negara.
Dia pun berharap nantinya semua orang memiliki kemampuan untuk membeli mobil listrik Nio. Namun, hal ini membutuhkan bantuan dari pemerintah, pembuat kebijakan, ekosistem pasokan, hingga kesiapan infrastruktur.
"Tujuan saya, dan komitmen saya terhadap perusahaan ini, adalah saya ingin kita semua membeli mobil Nio dari gaji pribadi kita suatu hari nanti," kata Iyer seperti dikutip dari Nikkei Asia.
Pada kuartal III/2023, Nio mencatatkan penjualan hingga 55.432 unit mobil listrik, naik 75,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, Nio menghadapi sejumlah tantangan termasuk perang harga di pasar China.
Nio pun terpaksa melakukan pemangkasan harga untuk produknya pada Juni 2023 pasca Tesla melakukan pemangkasan harga baik untuk pasar AS maupun pasar China.
Baca Juga
Langkah Tesla yang melakukan pemangkasan harga di pasar AS pun juga berpotensi menjadi batu sandungan bagi Nio lantaran perusahaan milik Elon Musk tersebut memperoleh keuntungan dari insentif pajak melalui Inflation Reduction Act (IRA).
Dalam Undang-Undang yang mengatur pengurangan inflasi tersebut, pemerintah AS memberikan insentif bagi konsumen mobil listrik yang mencakup kredit pajak US$7.500 atau setara US$118,28 juta (kurs jisdor Rp15.771) dengan syarat tertentu.
Syarat yang diminta dalam insentif tersebut adalah keharusan mobil listrik untuk diproduksi di AS dengan baterai yang juga berasal dari negeri Paman Sam. Hal ini pun lantas merugikan merek yang memilih untuk mengirimkan unit mobilnya secara utuh.
Adanya IRA pun telah mendorong beberapa merek mobil, termasuk pemasok untuk membangun atau memperluas jaringan operasinya secara lokal di pasar AS. Upaya ini pun dilakukan agar tetap kompetitif terhadap persaingan dalam negeri dan memperpendek rantai pasokan.
Salah satu produsen yang sudah melakukan hal ini adalah merek asal Korea Selatan, yakni Hyundai yang tengah membangun pabrik mobil listrik senilai US$7,6 miliar atau setara Rp119,85 triliun di negara bagian Georgia yang diharapkan mulai beroperasi pada 2025.
Iyer pun mengatakan Nio tidak berminat untuk memproduksi mobil listrik di Amerika Serikat lantaran dinilai terlalu mahal untuk membangun pabrik di negara tersebut. Nio pun sebelumnya telah mempertimbangkan untuk produksi lokal di AS, dan memilih tiga negara bagian untuk membangun pabriknya.
Lebih lanjut, dia menyebut jika Nio ingin membangun pabrik di AS, maka perlu mencari lokasi yang tepat dengan terdapat banyak pemasok untuk memaksimalkan operasional. Selain itu, dia menilai model dari Nio tidak akan memenuhi syarat IRA lantaran harganya terlalu mahal.
"Jadi seperti yang ditulis IRA hari ini, dari sudut pandang harga yang ketat, kendaraan kami tidak akan memenuhi syarat untuk IRA," katanya.