Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) mengungkapkan sejumlah harga barang di Indonesia, utamanya barang dengan bahan baku impor, menjadi tidak kompetitif jika nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah.
Seperti diketahui, Rupiah hanya menguat 1,2 persen (year-to-date/ytd) dibandingkan dengan apresiasi 1,78 persen hingga 23 Agustus atau 6 persen pada semester I/2023.
Ketua Logistik dan Perhubungan Ginsi Erwin Taufan menyampaikan, pelemahan Rupiah terhadap dolar AS sangat berdampak terhadap para pengusaha importir lantaran bahan baku impor menjadi lebih mahal.
Misalnya, industri otomotif, di mana beberapa komponen-komponennya harus diimpor untuk merakit kendaraan bermotor.
“Otomatis di dalam negeri itu harganya jadi tidak kompetitif,” kata Erwin kepada Bisnis, Kamis (21/9/2023).
Kendati demikian, dia menyebut dampak yang dirasakan importir belum signifikan dari melemahnya Rupiah terhadap dolar AS. Justru, dia menyoroti lambannya pemerintah dalam merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, lantaran aturan tersebut memberikan dampak yang luar biasa bagi para importir.
Baca Juga
Dalam pasal 19, diatur bahwa impor bahan baku atau bahan penolong hanya boleh dilakukan oleh perusahaan industri yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P).
Sedangkan, bagi industri kecil dan menengah yang tidak dapat melakukan importasi sendiri dapat dilakukan oleh pusat penyedia bahan baku dan atau bahan penolong yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
Adanya aturan ini, lanjut dia, membuat para pelaku usaha tidak dapat berusaha dengan maksimal. Apalagi, dari Desember 2022 hingga saat ini, revisi PP No.28/2021 tak kunjung terdengar lagi kabarnya.
“Spesifiknya kalau dolar naik dalam waktu sekarang, bagi kami belum begitu terasa, yang terasa itu regulasi, bukan dampak mata uangnya, tapi regulasinya yang berdampak kepada kami,” jelasnya.