Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memperluas cakupan masyarakat penerima insentif motor listrik menjadi masyarakat umum dari sebelumnya hanya berlaku bagi kelompok masyarakat dengan berbagai kategori tertentu.
Caranya adalah dengan mengurangi persyaratan untuk mendapat insentif motor listrik, yaitu satu KTP satu motor. Artinya, satu keluarga bisa membeli lebih dari satu motor.
Sebelumnya, pemerintah juga telah menetapkan subsidi untuk kendaraan listrik, baik mobil maupun motor, dengan menetapkan sejumlah nominal rupiah untuk satu unit kendaraan listrik, agar harganya terjangkau oleh publik. Namun, setelah dievaluasi, kebijakan tersebut tampaknya kurang efektif sehingga muncul kebijakan baru yang melonggarkan syarat penerima subsidi kendaraan bermotor.
Lantas, apakah kebijakan insentif seperti itu bisa mendorong akselerasi penggunaan kendaraan listrik dan mendukung pembentukan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia? Apakah insentif seperti itu juga bisa lebih efektif dan tepat sasaran? Atau ada persoalan lain yang menjadi masalah mendasar dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional?
Dalam hemat saya, sebenarnya tidak ada masalah soal perluasan kemudahan akses untuk membeli kendaraan listrik. Bagus malah, karena akan memperluas segmen pasar kendaraan listrik di satu sisi dan akan memperbaiki jalan menuju ambisi ekosistem kendaraan listrik di sisi lain. Apalagi jika dikaitkan dengan misi untuk transisi energi dan pengurangan emisi karbon.
Namun, persoalan subsidi kendaraan listrik yang cenderung kontroversioal di ruang publik belakangan ini memang bukan terletak di sana, tetapi persoalanya, pertama, terletak pada penikmat kebijakan tersebut pada sisi pelaku usaha, baik mobil maupun motor listrik. Dan kedua, adanya konflik kepentingan di dalam kebijakan subsidi kendaraan listrik, baik mobil maupun motor listrik
Baca Juga
Ada beberapa pihak penikmat kebijakan subsidi yang justru bukan pelaku domestik, terutama pada kendaraan listrik roda empat. Merek asing justru sudah sedari awal menguasai pasar EV ini, seperti Hyundai dan Wuling. Pun baru-baru ini pemerintah melonggarkan bea masuk kendaraan listrik lainya dari China, yakni BYD, yang lagi-lagi bukan merek domestik.
Jadi jika kebijakan ini didorong secara masif saat ini justru akan sangat menguntungkan merek-merek ini. Sementara pemain otomotif konvensional lama, sebut saja Astra (Toyota), misalnya, yang selama ini banyak menggunakan komponen lokal dalam produksinya belum juga ikut bermain, padahal perannnya sangat signifikan dalam industri otomatif nasional.
Jika kebijakan ini didorong secara masif, tanpa menyiapkan pelaku industri otomotif konvensional untuk segera ikut bermain alias ikut bermigrasi segera ke produksi kendaraan listrik, tentu akan menekan bahkan mendisrupsi pasar industri otomotif konvensional.
Di Amerika, misalnya, Ford dan GM justru didorong untuk segera ikut memasuki bisnis EV, agar pelaku domestik selain Tesla, bisa ikut menjadi tuan rumah di negaranya sendiri alias agar mereka bisa melakukan substitusi pasar otomotif konvensional yang hilang dengan produk EV yang mereka produksi sendiri
Sementara, untuk kendaraan listrik roda dua, sudah muncul beberapa merek lokal yang produknya sudah beredar di pasaran. Namun, masalahnya jumlahnya belum terlalu banyak. Lagi-lagi pelaku seperti Astra atau Yamaha, yang sudah banyak menggunakan komponen lokal dalam produk konvensioanalnya dan produknya selama ini menguasai pasar, belum terlihat tanda-tanda akan ikut bermigrasi untuk memproduksi motor listrik.
Walhasil, kebijakan tersebut juga akan menekan pasar pelaku kendaraan roda dua konvensional, yang pelaku utamanya sangat banyak menyerap komponen lokal dan melibatkan banyak mitra lokal. Jika pasar ini terdisrupsi secara signifikan, maka efeknya kepada perekonomian yang berbasiskan kepada kemitraan dengan perusahaan otomotif konvensional akan ikut terdisrupsi.
Pendeknya, kebijakan ini berpeluang menjadikan masyarakat Indonesia hanya sebagai konsumen untuk produk-produk yang justru kurang memiliki multiplier effect secara luas pada perekonomian nasional, karena tak melibatkan mitra lokal seluas pelaku-pelalu industri otomatif konvensional.
Kedua adalah masalah konflik kepentingan. Beberapa pejabat negara yang paling getol mendorong kebijakan ini terkait erat dengan bisnis kendaraan listrik dan bisnis tambang serta pengolahan nikel untuk batrai kendaraan listrik. Kondisi ini mengaburkan jarak antara regulator dan dunia usaha di satu sisi, dan juga mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan beberapa pelaku usaha di sisi lain.
Dalam hal ini, kebijakan fiskal negara justru sangat dilatari oleh kepentingan beberapa pihak, yang seolah-olah menguntungkan semua pihak. Apalagi, setelah disubsidi pun sebenarnya harga kendaraan listrik, terutama mobil listrik, masih sangat mahal dibanding kendaraan konvensional. Sehingga subsidi ini tetap saja tidak akan “affordable” untuk semua masyarakat, karena harganya masih kurang kompetitif dibanding kendaraan konvensional berbasis internal combustion engine (ICE).
Tentu peran negara sangat diperlukan. Tapi belajar dari negara seperti China, Jepang, dan Amerika, intervensi negara harus (1) dari hulu sampai hilir, terutama di penyiapan industrinya, terutama industri kendaraan listriknya, dan (2) mayoritas insentif seharusnya dinikmati oleh pelaku otomotif domestik. Karena itulah China, Jepang, Korea Selatan, dan AS, berhasil memunculkan merek-merek global, yakni karena keberpihakan kepada pemain dalam negeri ditunjukan secara nyata di dalam setiap kebijakannya
Keberpihakan pemerintah untuk menyiapkan “level playing field” bagi pelaku industri otomatif domestik dan penyiapan infrastruktur (terutama charging station) semestinya jadi pertimbangan utama, sebelum memberi subsidi langsung pada konsumen.