Bisnis.com, JAKARTA — Wuling memastikan memulai produksi lokal GSEV-nya di Indonesia pada tahun tahun ini. Sederet merek lainnya juga berpeluang membuat pasar semakin marak dengan mobil mini listik, seperti Toyota, Honda, dan Mitsubishi.
Berita tentang mobil mini listrik yang perpeluang masuk pasar Indonesia menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id
Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Minggu (5/6/2022):
1. Menunggu Semarak Pasar Mobil Mini Listrik
Wuling memastikan memulai produksi lokal GSEV-nya di Indonesia pada tahun tahun ini. Sederet merek lainnya juga berpeluang membuat pasar semakin marak dengan mobil mini listik. Sederet merek lain juga berpeluang menyemarakkan pasar mobil mini listrik, seperti Toyota, Honda dan Mitsubishi.
Kepastian Wuling EV masuk pasar Indonesia itu disampaikan diungkapkan pada 1 Juni 2022. Pada momentum Hari Kelahiran Pancasila itu, merek pabrikan China itu menggelar pre-launch Wuling EV yang bertajuk Electrify Your World yang berlangsung di Laguna Atrium, Central Park, Jakarta.
Wuling juga mengumumkan bahwa model mobil mini listriknya itu menjadi salah satu kendaraan resmi Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali, Oktober 2022.
“Kami pun bangga menginformasikan bahwa mobil listrik yang akan diproduksi di Indonesia ini telah resmi menjadi official car partner dari Konferensi Tingkat Tinggi G20 mendatang,” terang Dian Asmahani selaku Brand & Marketing Director Wuling Motors.
Selain Wuling, sederet merek pabrikan telah memiliki produk mobil mini listrik baterainya. Hanya saja, mereka belum memasukkan produknya ke pasar Indonesia, kecuali Toyota dengan Coms dan C+pod.
2. Kala PLTS Atap Hanya Dinikmati Hunian Kaum Menengah Atas
Tren memiliki hunian ramah lingkungan terus berkembang seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan bumi. Pemerintah pun gencar mendorong penggunaan PLTS Atap di hunian masyarakat.
Kementerian ESDM menetapkan PLTS Atap dengan target 3,6 GW pada 2025 sebagai program strategis nasional demi mempercepat pencapaian target EBT sebesar 23% pada 2025.
Sebagai pendukungnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap, sebagai revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Permen ini merupakan cara pemerintah dalam mencari jalan terbaik untuk mendongkrak kapasitas terpasang PLTS atap di dalam negeri.
Pada Februari lalu, Kementerian ESDM juga meluncurkan hibah Sustainable Energy Fund (SEF) untuk insentif Atap. Tujuannya mendorong masyarakat memasang PLTS Atap khususnya pelanggan PLN pada kategori rumah tangga, bisnis dan industri skala kecil-menengah/UMKM, dan sosial (sekolah/bangunan pendidikan, rumah sakit, rumah ibadah).
Program ini diharapkan dapat mempercepat implementasi program PLTS Atap secara masif dan berkontribusi terhadap capaian target EBT pada bauran energi nasional. Sejumlah pengembang pun menyiapkan opsi pemasangan PLTS Atap untuk memenuhi keinginan masyarakat memiliki pembangkit listrik sendiri di rumahnya.
“Step by step kami akan ikutkan [pemasangan panel surya] ke pasar-pasar perumahan yang berbeda, dalam rangka menuju ESG,” ujar Direktur Ciputra Development Harun Hajadi kepada Bisnis, Jumat (3/6/2022).
3. Kepul Laba GGRM & HMSP Menipis, Sahamnya Masih Menarik?
Kuatnya dampak kenaikan tarif cukai rokok tahun ini tak mampu dibendung oleh duo emiten rokok besar Tanah Air, PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM). Laba keduanya kembali turun pada kuartal pertama tahun ini. Menariknya, sahamnya justru menghijau.
HMSP membukukan penjualan Rp26,1 triliun pada kuartal I/2022, meningkat 11,05 persen secara tahunan (year-on-year/ YoY). Sayangnya, beban pokok penjualan perseroan naik 18,25 persen menjadi Rp21,9 miliar, utamanya disebabkan oleh beban pita cukai yang naik 21,57 persen menjadi Rp17,6 triliun. Akibatnya laba kotor perseroan turun 15,43 persen menjadi Rp4,26 triliun.
Begitu pula dengan emiten rokok asal Kediri, Jawa Timur, Gudang Garam. Emiten berkode saham GGRM ini mencetak pendapatan Rp29,29 triliun pada kuartal I/2022, turun 1,53 persen dibandingkan kuartal I/2021 sebesar Rp29,74 triliun.
Perseroan juga mencatatkan meningkatnya biaya pokok penjualan 0,70 persen menjadi Rp26 triliun di kuartal I/2022. Salah satu pendorong terbesar peningkatan biaya pokok penjualan GGRM adalah biaya pita cukai, PPN, dan pajak rokok yang meningkat 6,45 persen YoY menjadi Rp25 triliun secara tahunan.
Perseroan tercatat membukukan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk sebesar Rp1,07 triliun. Laba bersih ini turun 38,34 persen YoY dari Rp1,74 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
“Kami menilai kenaikan cukai, terutama untuk SKM yang lebih tinggi dibandingkan SKT di tengah daya beli yang baru pulih, mendorong adanya shifting segmen SKM menjadi SKT,” tulis Analis KB Valbury Sekuritas, Devi Harjoto dan Alfiansyah, dikutip Sabtu (4/6).
4. Rencana Rights Issue dan Bangkitnya Kepercayaan Diri Bank Ina
PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) mencetak kinerja yang memuaskan pada kuartal pertama tahun ini, seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi Indonesia. Capaian ini pun memperkuat kepercayaan diri BINA untuk melakukan rights issue dan menaikkan target kinerja keuangan tahun ini.
Bank Ina merupakan salah satu bank yang diagendakan akan bertransformasi menjadi bank digital, terutama setelah Grup Salim melalui PT Indolife Pensiontama menjadi pengendali baru bank ini. Namun, sejauh ini langkah digitalisasi itu belum cukup konkret.
Jika dibandingkan dengan PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) yang diakuisisi CT Corp, misalnya, langkah BINA belum ada apa-apanya. Namun, mengingat di BBHI pun ada jejak Grup Salim, bisa jadi sudah ada rencana besar yang dipersiapkan terkait bank yang satu ini.
Hingga kuartal pertama tahun ini, total ekuitas BINA baru mencapai Rp2,35 triliun. Itu berarti, masih ada kewajiban dari para pemegang sahamnya untuk menyuntikkan modal tambahan agar memenuhi persyaratan OJK tahun ini agar semua bank sudah memiliki modal inti minimal Rp3 triliun.
BINA baru saja melaporkan kinerja keuangannya pada kuartal pertama tahun ini. Hasilnya cukup positif. Ini tentu menjadi kabar baik yang bakal meyakinkan investornya bahwa perusahaan ini memiliki harapan untuk berkembang. Manajemen perseroan pun menjanjikan target yang lebih tinggi, seolah untuk menambah daya tarik.
Direktur Utama Bank Ina Perdana, Daniel Budirahayu, menuturkan bahwa mulanya BINA menargetkan pertumbuhan kredit hingga 30 persen sampai akhir 2022. Namun, target itu akan segera diubah seiring meningkatnya realisasi kredit perseroan.
5. Uji Tangkas SMGR vs INTP di Awal Tahun, Semen Mana Lebih Kuat?
Dua emiten semen pemimpin pangsa pasar di Indonesia, yakni PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa (INTP), mencatatkan kinerja keuangan yang berbeda di kuartal pertama tahun ini, di tengah peluang dan ancaman sektoral yang kurang lebih sama.
Pada awal tahun ini, tekanan kenaikan harga batu bara global membayangi kinerja sektor semen. Komiditas ini adalah salah satu komponen utama produksi semen, sedangkan harganya tahun ini sedang tinggi-tingginya akibat tersendatnya laju rantai pasok komoditas dunia.
Meski begitu, pada saat yang sama emiten semen juga tengah diuntungkan oleh kondisi ekonomi yang secara umum mulai membaik. Pada awal tahun ini, meski sempat dihamtam gelombang ketiga pandemi, secara umum aktivitas bisnis, mobilitas, dan proyek-proyek pembangunan kembali bergeliat
Namun, menghadapi kondisi tersebut, SMGR dan INTP melaporkan hasil yang berbeda arah. Keduanya mencatatkan pendapatan yang sama-sama naik tipis, tetapi laba yang dibukukan SMGR justru berhasil melonjak pesat, sedangkan INTP malah anjlok.