Bisnis.com, JAKARTA - Industri komponen otomotif sebagai pengguna terbesar aluminium sudah sejak tahun lalu terdampak lonjakan harga material karena reli di pasar global. Salah satu komoditas yang harganya terus naik yakni aluminium.
Hamdani Zulkarnaen Salim, Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) mengatakan kenaikan biaya produksi akibat lonjakan harga material rata-rata mencapai di atas 30 persen, tergantung komponen dan kandungan materialnya. Sejauh ini produsen terus melakukan upaya efisiensi dan penyesuaiakn harga jual.
"Kami masih mencoba bertahan dengan melakukan penghematan dan mengurangi proses reject," kata Hamdani saat dihubungi, Rabu (16/2/2022).
Menilik data London Metal Exchange, harga komoditas aluminium terus mengalami kenaikan sejak Januari 2020 di angka US$1.722 per ton menjadi US$3.238 per ton pada Februari 2022. Grafik harga sempat mengalami penurunan pada Oktober 2021 pada angka US$2.625 per ton sebelum kembali merangkak naik.
Dilansir Bloomberg, Goldman Sachs Group Inc. memprediksi aluminium akan mencapai harga rekor $4.000 per ton dalam 12 bulan ke depan karena keterbatasan pasokan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meski harga jual komponen mengikuti kenaikan biaya material, produsen tetap terbebani karena harus menunggu mekanisme peninjauan harga secara berkala oleh original equipment manufacturer (OEM). Selama rentang waktu sebelum tinjauan harga, beban tetap ditanggung produsen komponen.
Baca Juga
"Kami punya mekanisme price adjustment dengan OEM, walaupun masing-masing ada lack time-nya dari 3-9 bulan," jelasnya.
Namun, secara umum kenaikan harga material sejauh ini tidak menghambat proses produksi, terbukti dengan utilitas kapasitas produksi yang rata-rata berada di angka 70 persen hingga 80 persen, tergantung suplai roda dua dan roda empat ke OEM.