Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diharap mempertimbangkan kembali penerapan insentif PPnBM 100 persen guna mempertahankan laju penjualan mobil tahun ini.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menyampaikan relaksasi PPnBM 25 persen yang berlaku mulai Agustus hingga akhir tahun, kemungkinan tidak optimal mendorong kinerja otomotif.
"Karena wow factornya sudah semakin berkurang. Faktor emosi masyarakat yang pada awalnya melihat harga mobil baru semakin murah ini, lama kelamaan cenderung akan menjadi biasa-biasa saja," katanya kepada Bisnis, Senin (6/9/2021).
Yannes menyampaikan cara pandang masyarakat cenderung mengarah kepada bahwasanya harga baru yang ada sekarang inilah yang merupakan angka normal kendaraan.
Jika harga kendaraan naik dengan tiba-tiba akibat dihapuskannya relaksasi PPnBM secara tiba-tiba, akan dijawab pasar dengan menunda belanja. Hal ini berbahaya bagi kelangsungan investasi jangka pendek dan menengah APM nasional.
Menurutnya, seharusnya pemerintah melakukan pengurangan diskon tarif PPnBM secara bertahap. "Tujuannya agar pasar tidak menjadi kaget, terjadi resistensi, dan kemudian membuat sales anjlok signifikan," sebutnya.
Adapun, kebijakan diskon PPnBM 100 persen yang disahkan Kementerian Keuangan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.03/2021 telah berakhir pada Agustus 2021.
Tanpa ada perubahan aturan, sepanjang September–Desember diskon tersebut akan susut dari 100 persen menjadi 25 persen.
Mobil yang berhak menerima insentif PPnBM adalah kendaraan penumpang berdaya angkut kurang dari 10 orang, berpenggerak 4x2, dan memiliki kapasitas mesin hingga 1.500 cc. Mobil juga harus memenuhi syarat penggunaan komponen lokal paling sedikit 60 persen.
Adapun, penjualan mobil nasional dari Januari hingga Juli 2021 sudah berada pada 460.105 unit. Penjualan ini sudah jauh lebih baik dari total penjualan mobil nasional sepanjang tahun lalu, yakni 532.407 unit. Namun, tetap belum dapat dikatakan normal dari penjualan rata-rata mobil nasional di kisaran 1 juta unit.