Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Arcandra Tahar bicara soal industri mobil listrik Jepang yang terkesan lamban.
“Sebut saja Toyota dan Honda. Sebagai market leader di dunia, Toyota dan Honda belum terlihat serius untuk bertanding di bidang EV,” tulis Arcandra seperti dikutip dari akun Instagramnya, Minggu (23/5/2021).
Sementara itu, sejauh ini yang telah lama memiliki mobil listrik dan dipasarkan secara komersial hanya Nissan. Mobil ini telah memasuki kompetisi mobil energi hijau sejak 10 tahun terakhir dan menjual lebih dari 500.000 unit hingga 2021.
“Kenapa Jepang terlihat tidak antusias berpartisipasi dalam usaha mengurangi efek negatif dari perubahan iklim ini. Apakah Jepang tidak percaya dengan kontribusi internal combustion engine (ICE) vehicle terhadap perubahan iklim? Atau ada sebab lain yang memaksa Japan automaker tetap berada dijalur selain EV?” ujar Arcandra.
Dia mengatakan tidak ada yang tahu alasannya secara pasti, meskipun demikian menurutnya ada beberapa hal yang bisa dijadikan jawaban, alasan mengapa pabrikan Jepang terkesan lamban dan enggan berpartisipasi dalam menciptakan kendaraan berteknologi listrik yang ramah lingkungan.
“Pertama, Japan automaker mungkin belum percaya bahwa EV merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang,” ujar Arcandra menduga.
Menurut perusahaan automaker Jepang, mobil dengan kombinasi gasoline dan electric (hybrid) harus didorong dalam masa transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke EV atau mobil listrik, strategi tersebut banyak sekali memakan dana. Sementara dana yang sudah dikeluarkan untuk mengembangkan mobil hybrid di Jepang perlu waktu untuk balik modal.
Alasan kedua, “Japan automaker mungkin belum melihat kebutuhan pasar yang significant terhadap EV,” tulis Arcandra Menteri ESDM Indonesia ini. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan, perlu diketahui volume penjualan mobil listrik kurang dari 3 persen dari total penjualan mobil secara global. Kurangnya minat konsumen terhadap EV atau mobil listrik ini mungkin disebabkan oleh harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek dan lamanya waktu pengisian ulang daya.
“Ketiga, Japan automaker sudah agak telat untuk masuk ke gelanggang persaingan,” tulis Arcandra. Menurutnya, selain nama-nama besar yang sudah bertarung seperti General Motor, Volvo dan Mercedes, banyak pemain baru yang mulai masuk dan mampu bersaing dengan nama-nama besar tersebut seperti Tesla dan Nio dari Cina.
Lebih lanjut Arcandra menjelaskan, dengan kompetisi yang ketat plus hadirnya sejumlah kompetitor baru, sepertinya susah bagi pabrikan Jepang untuk bersaing dan secara bersamaan mendatangkan labadari penjualan mobil listrik. Itulah sebabnya, produsen mobil Jepang lebih memilih bertahan dengan teknologi hybrid.
Alasan keempat, “Japan automaker menganggap bahwa EV bukanlah teknologi yang ramah lingkungan kalau sumber energi listrik untuk charging berasal dari bahan bakar fosil,” kata Arcandra Tahar.
Menurut Arcandra, alasan mengapa automaker Jepang terkesan lamban dalam mengembangkan EV, karena menurut mereka mobil listrik hanya memindahkan kontribusi emisi gas buang dari mobil ke pembangkit listrik.
Apalagi pembangkit listrik di pabrik mobilnya juga berasal dari bahan bakar fosil. Alasan tersebut juga yang menjadi alasan automaker Jepang lebih memilih mengembangkan mesin dengan bahan bakar hydrogen.
Alasan kelima menurut Arcandra yaitu pemerintah Jepang mungkin belum siap untuk kehilangan lapangan pekerjaan karena teknologi mobil listrik lebih sederhana dan mudah untuk membuatnya. “Ekosistem dari supply chain untuk mobil yang berbasis bahan bakar fosil akan hancur yang berakibat kepada ekonomi negara. Jepang kelihatannya sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil aksi,” tulis Arcandra.