Bisnis.com, JAKARTA – Penguatan nilai tukar diyakini tidak akan memberikan dampak terhadap industri otomotif dalam negeri, baik di pasar domestik maupun di pasar luar negeri.
Berdasarkan data Bloomberg, Selasa (14/1/2020), rupiah ditutup di level Rp13.680 per dolar AS, melemah tipis 0,051% atau 8 poin. Pada pertengahan perdagangan, rupiah sempat menyentuh level tertingginya Rp13.642 per dolar AS.
Meski ditutup melemah, rupiah masih memimpin kinerja penguatan mata uang di Asia sepanjang tahun berjalan 2020 dengan bergerak naik 1,36% terhadap dolar AS. Rupiah masih dikelilingi sentimen positif seperti penandatanganan kesepakatan dagang tahap pertama AS dan China, meredanya ketegangan AS dan Iran di Timur Tengah, dan data ekonomi dalam negeri.
Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan bahwa penguatan nilai tukar rupiah belakangan ini tidak banyak memengaruhi bisnis otomotif di dalam negeri.
“Fluktuasi currency adalah hal biasa dalam bisnis. Negara-negara pengekspor biasanya happy kalau currency melemah, tapi sebaliknya kalau negara pengimpor happy kalau currency menguat,” katanya kepada Bisnis, Selasa (14/1/2020).
Menurutnya, hal ini juga tidak akan memengaruhi permintaan kinerja ekspor TMMIN dalam jangka pendek. Dia menjelaskan proyeksi ekspor sudah ditetapkan secara tahunan dengan penyesuaian setiap bulan untuk periode 3 bulan setelahnya.
Senada, Direktur Inovasi Bisnis, Penjualan dan Pemasaran PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy juga mengatakan bahwa penguatan nilai tukar tidak memengaruhi biaya produksi. Hal ini juga tidak akan serta merta mengubah harga produk yang dipasarkan.
“Untuk biaya produksi atau harga mobil domestik memang nilai tukar mata uang asing adalah salah satu faktor yang diperhitungkan dalam strategi penetapan harga. Namun Meskipun demikian, pergeseran nilai tukar tidak secara langsung dapat membuat harga naik atau turun karena masih ada faktor-faktor lainnya seperti biaya operasional, inflasi, material, dan sebagainya,” katanya kepada Bisnis.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa penguatan nilai tukar rupiah akan memengaruhi pendapatan perseroan dari hasil kegiatan ekspor. Hal ini membuat pencatatan nilai ekspor dalam rupiah mengalami penurunan.
“Untuk ekspor, memang dengan penguatan rupiah ini akan berpengaruh juga terhadap pendapatan kami. Tapi pada periode tertentu memang harga akan mengalami penyesuaian mengikuti pergerakan mata uang,” katanya.
Meski secara pendapatan akan tercatat lebih rendah, menurutnya hal ini tidak akan menjadi sentimen negatif terhadap permintaan dari pasar luar negeri. Pasalnya, kontrak perdagangan biasanya sudah disepakati untuk jangka panjang.
Menurutnya, penguatan rupiah baru akan memengaruhi industri otomotif apabila hal ini berlangsung cukup lama dan memiliki nilai selisih yang besar terhadap kurs saat ini. Meski begitu, harga jual produk tetap akan disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya.