Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri otomotif menjajaki peluang ekspor ke Australia untuk memanfaatkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement/IA-CEPA).
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menjelaskan Australia memiliki peluang pasar yang cukup besar bagi ekspor mobil Indonesia. Kebutuhan kendaraan per tahunnya di Negeri Kangguru mencapai sekitar 1,4 juta unit.
Menurutnya, kapasitas produksi mobil di Indonesia juga masih memiliki ruang untuk memenuhi kebutuhan mobil di Australia. Namun demikian, hingga saat ini ekspor yang sudah dilakukan baru dalam bentuk komponen.
“Kalau kita lihat kendaraan yang ada di sana, yang internal combustion engine [ICE] itu bisa disupport oleh Indonesia, kita punya kapasitas produksi 2,2 juta —2,3 juta unit, baru dipergunakan sekitar 1,3 juta, 1,1 juta untuk dalam negeri, 200.000 untuk ekspor,” tuturnya kepada Bisnis.com, akhir pekan lalu.
Menurutnya, pemanfaatan potensi itu akan bergantung pada keputusan para prinsipal otomotif yang memiliki pabrik di Indonesia. Sejumlah insentif dan fasilitas perlu disiapkan agar prinsipal bersedia mensuplai kebutuhan Australia dari pabrik mereka di Indonesia.
Pasalnya, sejumlah pabrikan yang ada di Indonesia juga memiliki pabrik di negara Asia Tenggara lainnya. Contohnya adalah Toyota Motor Corporation yang juga memiliki pabrik di Thailand dan Indonesia. Kebutuhan Australia sejauh ini masih disuplai dari basis produksi di Thailand.
“Salah satu faktor penentunya adalah prinsipal, mereka punya peran di sini, tapi kan pemerintah bisa meminta prinsipal untuk ekspor ke Australia, kan mereka juga sudah punya pabrik di sini, kenapa tidak?” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa Gaikindo akan kembali mengadakan pertemuan dengan para anggotanya untuk membahas hal ini lebih lanjut. Menurutnya, semua merek yang memiliki pabrik di Indonesia memiliki peluang yang sama untuk memanfaatkan peluang saat ini.
“Bolanya ada di mereka [prisipal], kalau bisa kurangi shipping cost, dari Thailand kan kurang lebih beda 1 minggu, itu kan berapa ongkosnya? Kalau [Pelabuhan] Patimban sudah jadi akan lebih mudah lagi dari Indonesia. Kita harus fokus ke situ,” katanya.
Dia menambahkan Gaikindo akan lebih berfokus pada ekspor kendaran ICE untuk saat ini. Menurutnya, meski tren mobil listrik dan hibrida akan berkembang, kebutuhan mobil ICE masih akan ada, setidaknya hingga 2050.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono mengatakan bahwa pihaknya akan mengkaji peluang ekspor tersebut. Dia juga mengatakan bahwa kesempatan ekspor tidak hanya untuk mobil konvensional, tetapi juga untuk mobil listrik.
“Ke depan kan juga ada EV [electric vehicle], itu kan bukan hanya untuk domestik, ekspor kita juga harus siapkan, bukan hanya Australia tapi negara lain juga, itu kita bicarakan ke depan, bagaimana supaya EV ini bukan hanya domestik market, tapi apa yang bisa kita lakukan supaya ini juga bisa untuk ekspor,” katanya kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Excecutive General Maneger PT Toyota Astra Motor (TAM) Fransiscus Soerjopranoto mengharapkan pemerintah juga membantu pelaku usaha untuk mendorong perluasan pasar otomotif Indonesia hingga ke luar negeri.
Dia menilai saat ini kecenderungan proteksionisme di ranah global menjadi penghambat ekspor otomotif Indonesia. Tantangan lain seperti risiko resesi global dan perang dagang antara Amerika dan China turut menambah pelik persoalan ini.
“Kami butuh pendampingan dari pemerintah untuk bernegosiasi dengan pelaku industri di negara lain, karena masih ada hambatan dalam mendorong produk masuk ke negara lain. Jadi, bukan hanya dorongan regulasi untuk domestik, tapi juga perlu ada bantuan dari pemerintah untuk memperluas market, tidak hanya di domestik,” jelasnya.
Sementara itu, Dubes Indonesia untuk Australia dan Republik Vanuatu Kristiarto Soeryo Legowo mengatakan bahwa insentif dari AI-CEPA adalah tarif bea masuk sebesar 0% untuk semua jenis kendaraan yang diekspor dari Indonesia.
“Yang jelas zero tariff untuk semua jenis kendaraan, utamanya sesuai dengan perkembangan ke depan, yakni mobil listrik dan mobil hybrid. Kita juga punya advantage lain, yakni kedekatan secara geografis, sehingga time shipping lebih pendek,” katanya.
Dia menambahkan kerja sama AI-CEPA saat ini belum sepenuhnya rampung. Prosesnya saat ini masih dalam tahap ratifikasi oleh masing-masing parlemen di Indonesia dan Australia. Pihaknya akan terus berkomunikasi dengan pelaku usaha selagi menunggu proses itu rampung.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa masih ada kendala dari sisi spesifikasi produk. Australia sudah menerapkan Euro 5, sedangkan Indonesia masih Euro 4. Produsen di Indonesia dinilai perlu mengejar ketertinggalan itu untuk mendukung peluang ekspor ini.
Ayu Siti Maryam, Direktur Indonesia Trade Promotion Centre – Sidney menambahkan pasar Australia didominasi oleh mobil keluarga dan sport utility vehicle (SUV). Dia mengharapkan produk MPV yang memiliki kandungan komponen lokal tinggi seperti Kijang Innova dari Toyota dapat diekspor ke sana.
“Maknya kami ingin nge-lobby supaya Innova kita bisa masuk ke sana, itu kan sudah 90% made in Indonesia. Selain itu komponen, suku cadang juga, kalau kita bisa ekspor utuh, komponen juga akan meningkat tajam,” katanya.