Bisnis.com, JAKARTA – Jurang antara kemampuan produksi barang mentah maupun barang setengah jadi dengan konsumsi pada industri aluminium cukup besar.
Asosiasi Produsen Aluminium Ekstrusi serta Aluminium Plate, Sheet & Foil (APRALEX, Sh&F) mencatat industri tengah dan hilir membutuhkan 800.000 ton aluminium dengan berbagai bentuk, sedangkan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) maksimal hanya mampu memproduksi sekitar 265.000 ton per tahun.
Ketua APRALEX, Sh&F Abubakar Subiantoro menguraikan Inalum yang hanya memproduksi aluminium langsung dari bauksit (virgin) belum dapat memenuhi kebutuhan aluminium virigin sekitar 360.000 ton per tahun. Maka dari itu, menurutnya, Inalum akan mencoba meningkatkan kapasitas produksi aluminium agar memenuhi konsumsi domestik.
“Program Inalum di Muara Tanjung itu akan ditingkatkan ke 300.000 sekian ton per tahun. [Selain itu,] ada proyek di Kalimantan Utara, di sana [akan dibangun fasilitas peleburan] dengan kapasitas menuju 1 juta ton per tahun lah,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (15/5/2019).
Abubakar menambahkan kebutuhan aluminium di dalam negeri menjadi dua jenis, yaitu industri yang membutuhkan aluminium virign dan aluminium yang datang dari proses daur ulang (secondary). Abubakar berujar konsumsi aluminium secondaryy mendominasi atau menapai sekitar 500.000 ton per tahun.
Secara sederhana, dengan tingkat konsumsi aluminium yang tinggi setiap tahunnya, industri aluminium secondary dalam negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Namun demikian, menurut Abubakar, budaya penggunaan aluminium di dalam negeri yang berbeda dengan negara lain membuat industri aluminium secondary domestik masih sedikit.
Selain itu, tambahnya, umur industri aluminium nasional masih tergolong muda atau sekitar 30 tahun. Dengan budaya penggunaan barang aluminium yang lebih lama dari negara-negara lainnya, skrap aluminium yang tersedia di dalam negeri akhirnya juga sedikit.