Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tetap memiliki pendapat berseberangan dengan pemerintah terkait program low cost and green car (LCGC). MTI menilai seharusnya peningkatan kebutuhan mobilitas dijawab dengan memaksimalkan pelayanan angkutan umum bukan mobil murah.
Ketua MTI Danang Parikesit mengatakan penerapan program LCGC harus diimbangi kebijakan tegas untuk mendorong perbaikan fasilitas transportasi publik. Kemudahan yang harus didahulukan ialah dari segi pembiayaan pengadaan angkutan umum demi merangsang peremajaan armada lama.
"Perlu ada kebijakan afirmatif untuk mendorong perkembangan angkutan umum melalui akses pembiayaan yang sama mudah misalnya, antara sepeda motor dengan angkutan umum," tuturnya kepada Bisnis, Kamis (17/10/2013).
Sejak 15 Juni 2012 uang muka alias down payment (DP) cicilan kendaraan bermotor ditetapkan terendah 25% untuk sepeda motor dan mobil pribadi 30%. Ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP.
Kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif (nonpribadi) DP minimum 20% ditambah syarat kendaraan itu harus punya izin angkutan orang atau barang dari instansi berwenang. Izin tersebut diajukan perorangan atau badan hukum berizin usaha khusus dan kendaraannya harus untuk kegiatan operasional usaha miliknya.
Aturan Bank Indonesia itu sekilas terlihat berusaha mempermudah pengusaha angkutan untuk membeli armada baru. Tapi kenyataan di lapangan tak seperti di atas kertas, DP untuk kredit kendaraan produktif mayoritas dua kali lipat dari yang disebutkan dalam surat edaran BI sebesar 40%.
"Uang muka motor sekitar 30%, tapi kalau pengusaha angkutan umum mau kredit dia harus bayar DP 40%, ini jauh lebih besar dibandingkan motor jadinya peremajaan tak kunjung terjadi," ucap Danang.
Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor (Organda) mencatat bunga kredit kendaraan bermotor pribadi selalu lebih kecil dibandingkan angkutan umum. Kisaran 4% - 6,5% per tahun untuk mobil atau motor pribadi sedangkan angkutan umum antara 9%-25%.
Ketua Umum DPP Organda Eka Sari Lorena menyatakan ciclan angkutan umum turut dipengaruhi skala bisnis perusahaan otobus. Perusahaan otobus antarkota antarprovinsi umumnya mendapat bunga kredit lebih murah ketimbang angkutan perkotaan.
"Dengan suku bunga kredit setinggi itu, jangan harap ada pengusaha pemilik mikrolet yang membeli armada bus," ujarnya.