Bisnis.com, JAKARTA - Opsen pajak kendaraan yang resmi berlaku pada Minggu (5/1/2025) menjadi senjata baru untuk meningkatkan penerimaan daerah.
Kendati demikian, kebijakan yang seharusnya berdampak positif bagi fiskal daerah, justru timbul mispersepsi di berbagai kalangan, sehingga akan berdampak ke sektor otomotif.
Gundah di kalangan masyarakat dan pelaku usaha, khususnya sektor otomotif, memang kadung meluas. Masyarakat resah akan ketiban tambahan beban pajak kendaraan, sedangkan pelaku otomotif khawatir minat masyarakat membeli kendaraan baru terus merosot.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mewanti-wanti adanya risiko pemasukan Pemerintah Daerah (Pemda) berkurang usai kebijakan opsen pajak resmi berlaku.
Bukan tanpa alasan, Agus menilai kebijakan opsen pajak itu nantinya justru akan merugikan ekonomi daerah karena masyarakat berisiko enggan membeli kendaraan, sehingga pemasukan pemerintah daerah berkurang.
"Saya kira enggak akan terlalu lama Pemda-Pemda nanti merasakan kebijakan opsen itu, justru akan merugikan ekonomi daerah sendiri. Tidak akan terlalu lama," ujarnya di Jakarta, pada Jumat (3/1/2025).
Baca Juga
Agus mengatakan, cepat atau lambat pemerintah daerah akan mencari cara untuk meningkatkan pendapatan daerah seperti menerapkan relaksasi pajak.
"Karena orang-orang lokalnya enggak akan bisa beli mobil. At the end of the day, enggak jadi masuk ke mereka [Pemda], mereka enggak akan dapat income. Jadi, ini kita mau memakai pendekatan yang segera. Artinya regulasinya diubah atau di ujungnya pasti pemda akan mengevaluasi itu," katanya.
Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono mengatakan, sebagian besar kekhawatiran masyarakat berasal dari anggapan bahwa opsen pajak adalah beban tambahan di luar yang selama ini mereka bayarkan.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Opsen pajak sejatinya bukan pungutan baru melainkan mekanisme pengalihan skema bagi hasil pajak antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang sebelumnya diatur dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Menurutnya, opsen pajak adalah kebijakan yang bertujuan baik. Namun, keberhasilannya akan sangat bergantung pada komunikasi yang efektif dan pelaksanaan yang transparan. Sosialisasi yang minim telah mengakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep tersebut.
"Akhirnya, sangat mungkin timbul resistensi dan potensi ketidakpatuhan. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu memperkuat komunikasi publik untuk menjelaskan bahwa opsen tidak menambah beban pajak," ujar Prianto mengutip Harian Bisnis Indonesia.
Detail Skema Opsen Pajak
Opsen pajak adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu, berdasarkan Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Sebelum adanya aturan opsen, terdapat lima kolom pungutan pajak, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), Biaya administrasi STNK, dan Biaya Administrasi TNKB.
Nah, setelah ada aturan opsen, nantinya pemerintah kabupaten atau kota dapat memungut opsen dari PKB dan opsen BBNKB sehingga ada dua kolom tambahan di STNK. Sementara itu, pemerintah provinsi dapat memungut opsen dari Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Ditinjau berdasarkan tarifnya, tarif opsen PKB dan opsen BBNKB adalah sebesar 66%. Sementara itu, opsen MBLB sebesar 25%. Kebijakan tersebut berlaku pada 5 Januari 2025.
Namun, bukan berarti pajak kendaraan naik sebesar 66%. Perlu dipahami bahwa aturan opsen itu tidak menambah beban wajib pajak. Walaupun objek pajak bertambah, jumlah pajak yang dibayarkan oleh masyarakat relatif tidak berubah.
Tidak adanya penambahan beban itu disebabkan oleh penurunan tarif PKB. Dalam aturan lama yakni UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau PDRD, tarif PKB paling tinggi sebesar 2%. Namun, dalam aturan baru UU HKPD, tarif paling tinggi menjadi hanya 1,2%.
Dengan kata lain, implementasi opsen dipraktikkan sebagai mekanisme bagi hasil oleh pemerintah provinsi (pemprov) kepada pemerintah kabupaten atau kota.
Alhasil, penerapan opsen tidak menambah jumlah pajak yang dibayarkan. Sebaliknya, opsen justru menambah penerimaan bagi pemkab/pemkot. Tentu ini menjadi perangkat baru yang akan meningkatkan kemandirian fiskal daerah
Berikut Simulasi Cara Hitung Opsen Pajak Kendaraan 66%:
Aturan lama UU No. 28/2009:
Wajib pajak A memiliki mobil dengan asumsi nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) sebesar Rp200 juta dan tarif PKB provinsi yang bersangkutan sebesar 2%.
Maka pajak yang dibayarkan senilai: Rp200 juta x 2% = Rp4 juta.
Nah, dari jumlah Rp4 juta tersebut, pemprov mendapatkan bagian sebesar Rp2,8 juta atau 1,4% dari Rp200 juta. Lalu, pemkab/pemkot mendapatkan bagian Rp1,2 juta atau 0,6% dari Rp200 juta.
Aturan baru UU HKPD No. 1/2022:
Adapun, dalam aturan baru terkait opsen pajak yang tertuang di UU HKPD, dengan asumsi NJKB Rp200 juta dan tarif PKB 1,2%.
Maka, PKB terutangnya adalah 1,2% x Rp200 juta= Rp2,4 juta (jumlah ini masuk ke Rekening Kas Umum Daerah atau RKUD Provinsi yang bersangkutan).
Opsen PKB-nya sebesar 66% x Rp2,4 juta = Rp1,58 juta (masuk ke RKUD Pemda Kabupaten atau Kota sesuai alamat atau NIK wajib pajak). Jika dijumlahkan PKB terutang dan opsen PKB, maka sebesar Rp3,98 juta.
Alhasil, jumlah pajak yang diatur di UU HKPD itu tidak jauh berbeda dibandingkan aturan sebelumnya di UU No. 28/2009.
Dampak ke Sektor Otomotif
Kebijakan opsen pajak yang seharusnya menguntungkan bagi peningkatan fiskal daerah, justru berisiko timbul efek domino bagi sektor otomotif akibat kekhawatiran masyarakat untuk membeli mobil atau sepeda motor baru. Alhasil, penjualan otomotif berisiko tergerus.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, sepanjang Januari - November 2024, total penjualan mobil secara wholesales sebesar 784.788 unit atau turun 14,7% secara year-on-year (YoY) dari periode sama 2023 sebesar 920.518 unit.
Sementara itu, penjualan ritel juga turun 11,2% YoY menjadi 806.721 unit pada periode 11 bulan 2024, dibandingkan 908.473 unit pada periode yang sama 2023.
Para pelaku industri otomotif pun tengah putar otak untuk menyiasati agar penjualan tidak semakin turun di tengah berbagai tantangan pada tahun ini, salah satunya opsen pajak.
Misalnya, PT Honda Prospect Motor (HPM) pun mengakui ada banyak faktor dalam menentukan harga jual di awal tahun ini. Honda pun akan terus memantau dan mempelajari kondisi pasar pada awal 2025 ini, serta menyesuaikan strategi untuk menjaga permintaan konsumen tetap tumbuh.
Sales & Marketing and After Sales Director PT Honda Prospect Motor, Yusak Billy mengatakan, dalam setiap strategi penentuan harga, perseroan selalu memberikan nilai lebih yang didapatkan oleh konsumen, antara lain dengan memberikan berbagai insentif seperti program penjualan yang mempermudah konsumen untuk melakukan pembelian.
"Kami sedang mengumpulkan data terkait pajak opsen di setiap daerah. Kami yakin pemerintah daerah juga pasti akan mempertimbangkan yang terbaik untuk kemajuan industri tentunya," ujar Billy kepada Bisnis, Selasa (7/1/2025).
Di lain sisi, Marketing Director Toyota Astra Motor Anton Jimmi Suwandy mengatakan saat ini pihaknya belum menentukan berapa persen kenaikan harga jual mobil lantaran masih dalam proses finalisasi harga untuk penyesuaian terhadap PPN 12% hingga opsen pajak.
Namun demikian, Toyota akan berkoordinasi dengan para perusahaan manufaktur agar tidak menaikkan harga komponen otomotif, mengingat sebagian besar mobil Toyota merupakan produksi lokal.
"Untuk mengkompensasi kenaikan harga dari komponen pajak di tahun 2025, TAM berkoordinasi intens dengan manufaktur untuk tidak menaikkan harga dari sisi produsen," ujar Anton kepada Bisnis.
Secara internal, dia mengatakan Toyota pastinya juga mendiskusikan strategi bersama diler dan value chain untuk terus menyediakan paket solusi mobilitas serta layanan purnajual (aftersales) yang kompetitif guna memenuhi beragam kebutuhan.