Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ronny P. Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Meraba Cuan Ekosistem Kendaraan Listrik

China bisa mengalahkan Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam bidang kendaraan listrik.
Konvoi kendaraan listrik delegasi saat simulasi pengawalan rangkaian tamu negara KTT Asean 2023 di Kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (2/9/2023)./Media Center KTT Asean 2023
Konvoi kendaraan listrik delegasi saat simulasi pengawalan rangkaian tamu negara KTT Asean 2023 di Kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Sabtu (2/9/2023)./Media Center KTT Asean 2023

Bisnis.com, JAKARTA - Pada mulanya, sasaran utama industri baterai di China adalah untuk sepeda listrik, lalu barang elektronik seperti ponsel dan laptop, sebelum akhirnya menjalar kepada kendaraan roda dua, roda empat, dan moda transportasi lainya (yang kemudian membutuhkan tambahan nikel). Namun langkah pertama yang dilakukan China bukanlah mengeksploitasi komoditas litium yang ada di ranah domestik, tapi justru berinovasi untuk menghasilkan teknologi manufaktur dan proses pengolahan metal yang akan menjadi landasan utama ekosistem baterai dan kendaraan listrik hari ini.

China bisa mengalahkan Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam bidang kendaraan listrik karena China sangat memahami bahwa China tidak akan pernah mampu menyaingi AS, Jepang, dan Eropa untuk mobil konvensional berbasiskan Internal Combustion Engine (ICE). Karena itu, China berusaha menjadi yang terdepan dalam menyiapkan landasan industri dan teknologi untuk menghasilkan segala sesuatu yang terkait dengan kendaraan listrik, yang belum terlalu diprioritaskan untuk dikembangkan di negara maju 20 tahunan lalu.

Masalahnya, nikel bukan satu-satunya bahan pembentuk baterai berbasiskan nikel. Selain nikel, baik sebagai anoda maupun katoda, ada kobalt yang memainkan peran penting bersama litium. Lebih dari itu, ada teknologi yang memainkan peran yang lebih penting, karena nikel dan kobalt tak bisa ujuk-ujuk disulap jadi baterai. Ada juga soal ketersediaan SDM, dana, jaringan supply chain, dan pasar. Karena itu tak mudah bermimpi menjadi penghasil baterai EV, apalagi memiliki ekosistem baterai EV.

Karena itu kita tidak bisa begitu saja menjadi pemain baterai kendaraan listrik di satu sisi, dan Tesla tidak semudah itu diajak ke Sulawesi di sisi lain. Apalagi, inovasi baterai kendaraan listrik lebih banyak terjadi untuk baterai berbasiskan litium, di mana Indonesia bukanlah pemain utamanya. Lukasz Bednarski, dalam bukunya terbitan 2021, dengan judul Lithium.

The Global Race for Battery Dominance and New Energy Revolution tak banyak membahas baterai untuk kendaraan listrik yang berbasiskan nikel, mengingat prospeknya tidak secerah baterai berbasis litium. Nikel tidak terlalu booming ketika era ponsel dan laptop terjadi, meski permintaan nikel Indonesia tetap tinggi kala itu. Nikel mulai banyak dibicarakan di saat kendaraan listrik mulai booming, itupun setelah komoditas kobalt acapkali terkena cap negatif.

Namun demikian, bukan berarti komoditas Nikel kurang prospektif. Buktinya hari ini Sulawesi nyaris kehabisan cadangan nikel dalam beberapa tahun ke depan. Artinya, nikel tentu akan tetap menjadi unsur penting di dalam setiap baterai kendaraan listrik, terlepas seberapa besar persentasenya. Hanya saja, membangun narasi ekosistem kendaraan listrik dan penghiliran komoditas nikel sebagai argumen utama, tanpa langkah-langkah strategis dalam menyiapkan inovasi teknologi, inovasi institusi, dan inovasi industrinya alias hanya berfokus pada instrumen regulasi “pelarangan ekspor”, ekosistem tersebut justru tidak menjadikan nikel kita sebagai komoditas berkeunggulan kompetitif.

Pasalnya, secara ekstraktif nikel hanya akan memiliki keunggulan komparatif bagi Indonesia. Sementara itu, keunggulan kompetitif komoditas turunan nikel hasil industri akan dinikmati oleh pelaku asing yang membawa teknologinya ke sini. Pun tidak akan melahirkan merek-merek global layaknya yang dimiliki China, Jepang, Korea Selatan, atau AS.

Memang akan ada banyak lapangan pekerjaan yang dibuka, tapi tak akan sebanding dengan ongkos (lingkungan) dan opportunity loss (tidak memiliki pemain domestik dalam industri baterai dan tidak menguasai pasar kendaraan listrik dalam negeri) yang akan ditanggung oleh Indonesia. Nasibnya akan sama dengan kereta cepat. Sebagian saham dan mayoritas kreditnya berasal dari China, begitu pula dengan teknologinya. Tapi sampai saat ini tak ada kejelasan apakah Indonesia akan mampu menghasilkan teknologi kereta cepat, karena komitmen transfer teknologi tak pernah terdengar.

Lebih dari itu, urusan ekosistem kendaraan listrik tidak hanya soal keberadaan bahan baku untuk baterai, tapi juga keberpihakan pemerintah untuk menyiapkan level playing field bagi pelaku industri otomotif domestik dan penyiapan infrastruktur (terutama charging station), sebelum urusan pemberian subsidi langsung pada konsumen. Saya cukup yakin, jika pemerintah bisa mendorong pelaku-pelaku yang sudah terlanjur beroperasi untuk ikut membangun infrastruktur kendaraan listrik (charging station) sebelum meminta pemerintah memberi subsidi untuk konsumen, maka itu akan jauh lebih baik ketimbang subsidi langsung kepada konsumen.

Penjualan kendaraan listrik di China menjadi booming justru setelah charging station dibangun lebih dari sejuta unit. Karena salah satu alasan utama orang beralih kepada kendaraan listrik adalah terjawabnya masalah range anxiety. Alasan harga biasanya menjadi alasan kedua dan ketiga setelah range anxiety terjawab. Dan China menjawabnya dengan penyediaan charging station secara masif.

Sampai dengan 2022 saja jumlahnya sudah lebih dari 1,2 juta titik charging station, yang mayoritas disediakan perusahaan penghasil kendaraan listrik, sisanya dihadirkan oleh perusahaan negara. Bahkan di China, pelaku startup kendaraan listrik seperti NIO menyediakan charging station sekaligus penyediaan jasa tukar baterai langsung (battery swap) agar masalah range anxiety terjawab secara jelas dan pasti. Di Taiwan, pulau kecil yang berpotensi menyulut perang dunia ketiga, memiliki lebih dari stasiun battery swapping.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper