Bisnis.com, JAKARTA- China memberlakukan larangan ekspor gallium dan germanium, material logam pembuatan semikonduktor. Hal inipun mengancam laju penjualan otomotif yang sejak tahun lalu dirongrong kelangkaan cip semikonduktor.
Galium dan germanium kerapkali digunakan sebagai material cip semikonduktor untuk peralatan elektronik. Selain itu, cip semikonduktor berkecepatan tinggi inipun dipergunakan bagi perangkat produk otomotif, terutama bagi unit mobil listrik.
Kedua material ini bahkan digunakan hampir pada perangkat elektronik, kabel fiber optic, hingga sensor. Ketergantungan terhadap galium dan germanium secara global cukup tinggi.
Di sisi lain, China merupakan salah satu eksportir terbesar galium dan germanium. Mengacu data Shanghai Metals Market (SMM), China merupakan produsen galium primer dengan volume produksi mencapai 800 ton per tahun.
Lebih jauh, berdasarkan data Critical Raw Materials Alliance (CRMA) Eropa, negara yang dipimpin Xi Jinping itu menguasai 80 persen galium dan 60 persen germanium dunia. Nilai strategis inilah yang digunakan China dalam perang dagang dengan Amerika Seriakat.
Pelarangan ekspor galium dan germanium langkah balasan Xi Jinping terhadap kebijakan serupa dari Joe Biden. Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) melarang para produsen semikonduktor untuk mengekspor komponen mereka ke China.
Baca Juga
Tidak hanya itu, AS juga melarang importasi material dari China, terutama terkait rantai pasok mobil listrik, baterai, hingga material. Guna menegaskan larangan tersebut, serta merangsang produksi lokal, bahkan Pemerintahan Joe Biden menerbitkan paket kebijakan Inflation Reduction Act (IRA), yang menganaktirikan insentif semua produk yang berasal dari China maupun negara non mitra.
Sebaliknya, kebijakan balasan China pun tak tanggung-tanggung. Dengan menahan ekspor galium dan germanium, rantai pasok global terancam akibat krisis produksi semikonduktor.
Potensi kelangkaan cip semikonduktor bagi industri otomtoif seperti mengulang krisis yang terjadi sepanjang tahun lalu. Lantas kelangkaan inipun kembali menghantui pasar otomotif yang tengah pulih yang tercermin dari kinerja penjualan mobil pada paruh pertama tahun ini sebesar 505.985 unit secara wholesales, tumbuh 6,5 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Pada tahun lalu, krisis semikonduktor sempat menghambat laju pertumbuhan penjualan mobil. Terlebih lagi, sektor otomotif bukan sendirian memperebutkan pasokan semikonduktor.
Sebagaimana dikatakan Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi, sewaktu kelangkaan cip semikonduktor terjadi, maka sektor otomotif berada dalam posisi yang lemah.
“[Karena] kebutuhan otomotif tidak seberapa, tidak lebih dari 10 pesern pasokan dunia. Sedangkan mayoritas [penyerap semikonduktor] itu industri elektronik,” jelas Nangoi pada tahun lalu.
Di sisi lain, aksi balasan China inipun diantisipasi berbagai negara di dunia. Jepang, selaku negara industri yang juga mendominasi produksi otomotif di Indonesia, ikut terjun mencari sumber material penting terutama berkaitan dengan pasokan jangka panjang mobil listrik.
Semikonduktor yang ditopang galium dan germanium sangat penting bagi mobil listrik. Komponen tersebut terbilang vital, karena selain digunakan dalam sistem kelistrikan, juga berperan mengontrol sistem baterai sekaligus power train mobil listrik.
Dikutip dari Nikkeiasia, Rabu (2/8/2023), Pemerintah Jepang berencana untuk bekerja sama dengan tiga negara Afrika untuk mengembangkan rantai pasokan kobalt dan mineral lain yang penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Tokyo akan bekerja sama dengan Zambia, Republik Demokratik Kongo, dan Namibia untuk memperluas eksplorasi bersama di setiap negara. Proyek-proyek tersebut akan dimulai segera pada tahun ini. Jepang ingin mendiversifikasi sumber mineral penting, termasuk litium, untuk meningkatkan keamanan ekonomi dan melawan pertumbuhan investasi China di negara-negara Afrika.
Organisasi Jepang untuk Keamanan Logam dan Energi (Japan Organization for Metals and Energy Security/Jogmec) segera menandatangani nota kesepahaman dengan Zambia. Jogmec juga akan menyelesaikan rencana kerja dengan Kongo dan Namibia berdasarkan kesepakatan awal yang telah dicapai dengan kedua negara.
Yasutoshi Nishimura, Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang mengatakan akan mengunjungi tiga negara, bersama dengan Angola dan Madagaskar, selama tur delapan hari di Afrika yang akan berakhir 13 Agustus. Penandatanganan nota kesepahaman dan perjanjian lainnya akan bertepatan dengan rencana perjalanan.