Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai tidak serius dalam percepatan pengembangan mobil listrik berbasis baterai di dalam negeri karena di tengah keinginan menumbuhkan populasi segmen tersebut, keran insentif untuk kendaraan berbahan bakar fosil justru terbuka lebar.
Hasilnya, berkat insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang bergulir sejak Maret 2021, penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil mengalami peningkatan secara tahunan.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat sepanjang April penjualan mobil melonjak 227 persen secara tahunan. Sementara itu, sepanjang lima bulan 2021, penjualan ritel roda empat mencapai 322.128 unit, naik 23,6 persen dari 2020.
“Ini lucu ketika insentif kendaraan listrik diumumkan, tetapi pada saat yang sama insentif PPnBM juga diumumkan sehingga mobil listrik tidak akan bertumbuh,” ujar Lin Che Wei, pendiri Independent Research Advisory Indonesia (IRAI), beberapa waktu lalu.
Menurut Lin, keputusan itu menunjukkan pemerintah tidak memiliki tujuan jelas dalam menghadapi tantangan industri otomotif ke depan. Padahal, menghasilkan kendaraan hemat energi dan beremisi rendah merupakan salah satu tantangan yang harus diselesaikan industri otomotif Indonesia agar terus bertahan.
Di sisi lain, pemerintah telah bertekad memperluas kehadiran kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan terdapat 2.200 unit mobil listrik dan 2,13 juta unit sepeda motor listrik pada 2025.
Baca Juga
Untuk mencapai target tersebut, setiap tahun setidaknya ada 440 unit mobil listrik dan 426.000 unit sepeda motor listrik di Indonesia sejak 2020.
Pencapaian target tersebut tidaklah mudah. Diperlukan insentif bagi konsumen dari kalangan menengah ke atas supaya mau beralih menggunakan kendaraan listrik.
Insentif memang menjadi salah satu daya tarik produsen mobil listrik untuk menentukan keputusan satu negara menjadi basis produksi. Di negara-negara dengan penjualan mobil listrik yang tinggi, seperti Norwegia, China, AS, dan Eropa, insentif menjadi faktor utama.
Pemberian insentif itu bisa berupa potongan harga langsung ke konsumen, relaksasi pajak untuk produsen, sampai pada akses umum, seperti gratis biaya tol dan parkir.
Norwegia, misalnya, menekan biaya listrik, pajak, dan asuransi kendaraan listrik. Warga negara itu akhirnya mengeluarkan biaya lebih murah untuk kendaraan listrik dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak.
Insentif dari Pemerintah Norwegia sejalan dengan target Parlemen Norwegia bahwa mobil baru yang dijual pada 2025 adalah mobil dengan emisi nol, yakni mobil listrik atau hidrogen.
Sementara itu, menurut Forum Ekonomi Dunia, biaya kendaraan listrik di 14 negara di Eropa, di antaranya Norwegia, Perancis, Spanyol, dan Inggris, kini lebih murah dari kendaraan berbahan bakar minyak.
Namun, mewujudkan target 2025 tidaklah mudah. Ada banyak hal yang mesti dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan, termasuk kalangan industri dan pengusaha untuk berkontribusi menciptakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
HARGA KENDARAAN MAHAL
Salah satu persoalan utama adalah harga kendaraan listrik masih relatif mahal, jika dibandingkan dengan mobil konvensional berbahan bakar minyak sebab komponen utamanya, yaitu baterai, memiliki harga jual yang mahal karena belum diproduksi secara massal.
Harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik. Hal itu pun memengaruhi konsumen untuk membeli. Saat ini, harga jual mobil listrik mencapai Rp400 juta hingga Rp600 juta.
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi sempat mengatakan bahwa mobil yang paling laku di Tanah Air berada di rentang harga Rp200 juta sampai dengan Rp250 juta.
“Kalau kita paksakan pun market belum bisa terima karena harganya yang mahal. Belum lagi lagi kita juga mesti melihat infrastruktur, melihat dukungan-dukungan lain harus yang harus dipersiapkan,” ujar Nangoi.
Persoalan lain adalah jarak tempuh mobil listrik masih terbatas karena kapasitas baterai terbatas. Ini berbeda jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak yang memiliki jarak tempuh panjang karena dukungan ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar.