Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian tengah mengkaji rencana memperpanjang program relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Wewah (PPnBM) untuk mobil berkapasitas hingga 2.500 cc.
Menanggapi hal tersebut, pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, mengatakan bahwa program PPnBm yang dibuat lebih fleksibel mampu memperbaiki kinerja penjualan industri otomotif dalam negeri.
Namun, di sisi lain, dia menilai bahwa ke depannya pemerintah perlu mengubah strategi penerimaan kas negara, yang saat ini terlalu mengandalkan pemasukan dari PPnBM kendaraan bermotor.
“Sebab, rantai bisnis kendaraan bermotor di luar PPnBM sebetulnya sudah terkena pajak untuk setiap transaksi local purchasing yang terjadi,” ujar Yannes saat dihubungi Bisnis, Jumat (28/5/2021).
Dia berpendapat penataan lebih lanjut terhadap pajak dan retribusi, yang berkaitan dengan kendaraan bermotor, diharapkan tidak memiliki terlalu banyak beban akumulasi, sehingga membuat harga kendaraan terlalu mahal.
Pada pemberitaan sebelumnya, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian, Sony Sulaksono mengatakan pihaknya berencana memperpanjang relaksasi PPnBM hingga 2022.
Sejauh ini, kata Sony usulan tersebut masih digodok di dalam lingkungan Kementerian Perindustrian. Dia menambahkan usulan untuk memperpanjang program relaksasi PPnBm masih memerlukan studi analisis.
Seperti yang diketahui, relaksasi PPnBm dijadwalkan berlangsung hingga akhir 2021. Program yang dimulai sejak 1 Maret ini dilakukan secara periodik per tiga bulan.
Selama Maret hingga Mei, PPnBM dikenakan tarif nol persen. Adapun, Juni–Agustus ditanggung 50 persen, sementara September sampai dengan Desember menjadi 25 persen.
Program relaksasi PPnBM diberikan pada mobil-mobil berkapasitas 1.500 cc hingga 2.500 cc yang diproduksi di Indonesia, serta memiliki pembelian komponen lokal (local purchase) minimal 60 persen.